Mencari kehalalan dalam Berbuat

Senin, 19 Mei 2014

peminangan, mahar dan kafa'ah dalam menikah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Makalah singkat yang kami susun ini akan membahas tentang peminangan, yaitu sebuah prosesi awal sebelum menginjak kepada jenjang pernikahan. Prosesi yang melibatkan calon mempelai beserta wali-walinya. Peristiwa yang bertujuan untuk saling mengenal agar lebih erat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk saling hidup bersama.
Dalam makalah kami ini juga akan membahas tentang mahar yang menjelaskan tentang tanda jadi serta kafa’ah atau keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama yang menentang kafa’ah, sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama yang menganut empat mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hambaliyah, sepakat dengan adanya kafa’ah walaupun dengan sudut pandang yang berbeda.
Harapan kami, pembahasan tentang peminangan dan kafa’ah ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah Fiqih ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.

B.     Tujuan masalah
1.      Memahami pengertian peminangan dan seluk beluk peminangan
2.      Memahami pengertian mahar  dan seluk beluk mahar
3.      Memahami pengertian kafa’ah  dan seluk beluk kafa’ah










BAB II
PEMBAHASAN

A.   Peminangan
1.      Arti Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[1]
Arti Peminangan setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dikawini sesuai dengan kriteria sebagaimana disebutkan, langkah selanjutnya adalah menyampaikan kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu disebut dengan khitbah atau yang dalam bahasa melayu disebut "Peminangan". adalah bahasa arab yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.Kata Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih mendifinisikannya dengan, menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini.
Peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. merupakan bahasa arab standart yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari; tedapat dalam Al-Qur'an sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 235.
Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam hadits dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
"Bila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah".
Peminangan itu disyari"atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Diantaranya pihak laki-laki yang mengajukan pinangan kepada pihak perempuan dan adakalanya pihak perempuan yang mengajukan pinangan ke pihak laki-laki. Syari'at menetapkan aturan-aturan tertentu dalam peminangan ini, dalam tradisi islam sebagaimana tersebut dalam Hadits Nabi yang mengajukan pinangan itu dari pihak laki-laki itu sendiri yang datang ke pihak perempuan itu untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada dalam status orang yang menerima pinangan.

2.      Hukum Peminangan.
Dalam al-Qur'an dan hadits banyak Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al qur'an maupun dalam hadist nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.
3.       Hikmah Disyari'atkan Peminangan
Setiap hukum yang disari'atkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin al-Syu'bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:
اانه قال له وقد خطب امراءة انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينكما
"Bahwa nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag seseorang perempuan: "melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan".
4.       Syarat-syarat Peminangan
a.       Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
1)      Wanita yang akan dipinang itu telah diteliti tentang keluarganya, akhlak dan agamanya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
عن أبى هر يرة رضى االله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم تنكح المرأة لآربع لما لها ولحسبها ولجملها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك . روه الجما عه الا الترمذي
Artinya : dari Abu Hurairah ra. Dan Nabi saw beliau bersabda : Wanita itu dinikahi karena 4 perkara, karena hartanya, kebangsawanannya/nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah pilihlah yang beragama, mudah-mudahan engkau berhasil baik. (HR. Jamaah ahli hadis kecuali At-Tirmidzi).




2)      Wanita yang dipinang adalah wanita yang mempunyai keturunan dan mempunyai sifat kasih sayang. Sabda Nabi saw :
عن أنس رضى االله عنه قال كان رسول الله النبى صلى الله عليه وسلم . يأمربالبأة وينهى عن التبتل نهيا شديدا ويقول تزوجواالودوداالولود فاءنى مكا ثر بكم الأنبياء يوم القيامة. روه احمد
Artinya : Dari Anas ra. Beliau berkata, Rasulullah saw menyuruh orang yang sanggup kawin, dan melarang dengan sangat hidup membujang selamanya. Selanjutnya Beliau bersabda : “Kawinilah wanita yang mempunyai sifat kasih saying dan mempunyai keturunan, sesungguhnya aku bangga pada hari kiamat nanti dengan melihat jumlahmu yang banyak dibandingkan dengan jumlah ummat nabi-nabi yang lain (HR. Ahmad). [2]
3)      Wanita yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang jauh dengan laki-laki yang meminang. Agama melarang seorang laki-laki menikahi seorang winita yang sangat dekat hubungan darahnya.[3]
b.      Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain :
1.      Wanita yang tidak dalam pinangan orang lain atau sedang dalam pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan hak pinangannya.
Sabda Nabi saw :
المؤمن أخوالمؤمن فلا يحل له أن يبتاع على بيع أخيه ولايخطب على خطبة أخيه حتى يزر . روه أحمد و مسلم
Artinya : orang mukmin adalah bersaudara, tidak boleh menawar barang yang sedang ditawar oleh saudaranya, dan tidak boleh melamar wanita yang sedang dilamar oleh saudaranya sampai saudaranya itu membatalkan tawaran atau pinangannya. (HR.Ahmad dan Muslim).
2.      Wanita yang dipinang hendaklah wanita yang halal untuk dinikahi dalam artian wanita tersebut bukanlah menjadi mahram dari laki-laki yang meminangnya.

5.      Syarat-Syarat Orang Yang Boleh Dipinang
Pada dasarnya peminangan itu adalah sebuah proses awal dari perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang secara hukum syar' boleh dikawini oleh seorang laki-laki, boleh dipinang. Hal ini berarti tidak boleh meminang orang-orang yang secara syara' tidak boleh dikawini.


Perempuan yang dingikan untuk dikawini oleh seorang laki-laki dapat dipisahan dalam beberapa bentuk:
1. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan meskipun dalam kenyataannya telah ditinggalkan oleh suaminya.
2. Perempun yang ditinggal mati oleh suaminya, baik ia telah digauli suaminya atau belum dalam artian ia telah menjalani massa iddah mati dari mantan suaminya.
3. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya secara tala' ra'ji dan dalam masa iddah raj'i
4. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya dalam bentuk talak bain dan sedang menunggu masa iddah tala' bain.
5. Perempuan yang belum kawin.
Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan ada dua cara:
• Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam artian tidak mungkin difahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan: "saya berkeinginan untuk mengawinimu."
• Menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dalam istilah kinayah. Yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan: "tidak ada orang yang tidak suka kepadamu"
Rasulullah saw bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ بَيْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ(متفق عليه).
Artinya:
“Seorang mu’min adalah saudara mu’min lainnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh membeli atau menawar sesuatu yang sudah dibeli/ ditawar saudaranya, dan dia tidak boleh meminang seseorang yang sudah dipinang saudaranya, kecuali ia telah dilepaskannya”.(Mutaffaq alaih).[4]
6.      Hukum melihat wanita yang akan dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan kepada hadits Rasulullah saw. Berikut ini:
اِذَاخَطَبَ اَحَدُكُمْ اِمْرَأَةً فَلاَ جُنَاحُ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِذَا كَانَ اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ اِنْ كَا نَتْ لاَ تَعْلَمُ (رواه أحمد)
Artinya:
“Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad).[5]
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah. Mughirah bin Syu’ban telah meminang perempuan. Kemudian Rasulullah bertanya “ Apakah engkau telah melihatnya?” Mughirah menjawab “Belum”. Rasulullah saw bersabda:
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى اَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَ (رواه النسا عى وابن ماجه والتر مذي  )
Artinya:
“Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kedekatan kamu.” ( HR. Nasa’i, ibnu Majah dan Tarmidzi).[6]
Mengenai batas-batas kebolehan melihat bagian tubuh wanita yang dipinang, para ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan dua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikan wajahnya. Sedang menurut Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan adalah melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki.[7]
7.       Batas Yang Boleh Dilihat
Meskipun hadits nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama'.
• Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
• Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
• Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.
• Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
• Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.

B.   Mahar
1.      Pengertian Mahar
Yang dimaksud dengan mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam suatu pernikahan dianggap penting, karena selain memang diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami kepada calon istrinya.[8] Allah swt berfirman: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4).[9]
Maskawin itu menjadi milik sepenuhnya si istri. Suami tidak mempunyai hak apapun atas harta maskawin itu. Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri. Apabila si istri merelakannya kepada suami hal itu tidak mengapa.[10]
Cara pembayaran maskawin dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, pembayaran dilakukan secara tunai (cash) dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian (utang, credit). Dalam kasus mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan kualitasnya dalam akad perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak disebutkan.[11]
Akan tetapi apabila telah terjadi hubungan seksual antara suami istri atau suami meninggal dan belum terjadi hubungan seksual , maskawin wajib dibayar seluruhnya. Tetapi Imam Malik berpendapat apabila suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual, tidak wajib membayar maskawin. Dalam keadaan begini, menurut Malik, istrinya menerima waris saja.[12]
Apabila suami menceraikan istrinya yang belum dicampuri, jika maharnya sudah ditentukan besarnya, maka mantan suami wajib membayar separuhnya. Akan tetapi apabila belum ditentukan besarnya maka mantan suami tidak wajib membayarnya melainkan wajib membayar mut’ah. Mut’ah ialah pemberian mantan suami kepada mantan istrinya yang dicerai sebagai kenang-kenangan dan penghibur baginya.[13] Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqarah 236-237

2.      Macam-macam Mahar
Mahar dibagi dalam 2 macam:
a.      Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal akad nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan persetujuan kedua belah pihak.
b.      Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk mahar belum ditetapkan.[14]
Mengenai ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya jumlah mahar yang diberikan pihak laki-laki, islam tidak menetapkannya dengan tegas, karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karena Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan mudharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.[15]
Di indonesia, bentuk mahar pada umumnya adalah perhiasan emas dan perlengkapan/alat shalat. Dibolehkan pula mahar dengan kitab suci Alquran, sepasang sendal, bahkan mahar yang berbentuk non materi, seperti membaca ayat-ayat Alquran. Banyak hadits Nabi saw yang menerangkan aneka ragam bentuk mahar yang diberikan pihak laki-laki. Antara lain:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخاري)
“Nikahlah engkau walaupun (maharnya) berupa cincin dari besi.”( HR. Bukhari)
لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَا نَتْ لَهُ حَلاَلاً (رواه احمد و ابو داود)
”Seandainya seorang laki-laki memberikan makanan sepenuh tangannya saja sebagai mahar seorang perempuan, maka perempuan itu halal baginya.”       (HR. Ahmad dan Abu Daud).
”Bahwasanya seorang perempuan Bani Fajrah menikah dengan mahar sepasang sandal. Kemudian Rasulullah saw bertanya, ”apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal”? Perempuan itu menjawab, ”ya”. Lalu Rasulullah membolehkannya.”[16]


3.      Adapun syarat-syarat mahar ialah
1.    Benda yang suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat.
2.    Milik suami.
3.    Ada manfaatnya.
4.    Sanggup menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampas
       orang dan tidak sanggup menyerahkannya.
5.    Dapat diketahui sifat dan jumlahnya.[17]

C.   Kafa’ah
1.        Pengertian Kafa’ah
Menurut bahasa kafa’ah berarti serupa, seimbang atau serasi. Menurut istilah adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami baik dalam kedudukan, status sosial, akhlak maupun kekayaannya sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.[18]
Kalau kita melihat pada Alquran ditinjau dari segi insaniyahnya, manusia itu sama seperti tersebut pada surat Al-Hujarat ayat 13:
Artinya:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kafa’ah dalam pernikahan
a.         Menurut ibnu Hazm kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan. Muslim mana pun selama bukan pezina berhak menikah dengan muslimah manapun selama bukan pezinah.
b.        Menurut Mahdzab Malikiyah beranggapan bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam pernikahan. Yang dimaksud kafa’ah disini menurut Malikiyah ialah untuk istiqamah dalam menjalankan ajaran agama dan akhlak. Unsur-unsur lainnya, seperti kekayaan, keturunan, dan sebagainya tidak dijadikan pertimbangan.
c.         Menurut jumhur ulama bahwa kafa’ah dalam pernikahan sangat penting. Unsur kafa’ah tidak hanya terbatas pada istiqamah dan akhlak, tetapi juga kafa’ah dalam unsur nasab, kemerdekaan, usaha, kekayaan dan kesejahteraan.[19]
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai hal dalam kafa’ah tersebut.
a.         Jumhur ulama berpendapat bahwa kafa’ah menjadi hak perempuan dan para wali. Karenanya seorang wali tidak boleh menikahkan seseorang perempuan dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, kecuali dengan persetujuan wali-wali yang lain.
b.        Menurut golongan Syafi’i berpendapat yang berhak terhadap wanita itu ialah yang menjadi walinya di saat itu.
c.         Sedangkan menurut riwayat imam Ahmad Kafa’ah itu hak Allah. Sekiranya para wali setuju untuk mengabaikan kafa’ah maka persetujuan tersebut tidak sah. Yang dimaksud kafa’ah menurut pendapat yang ketiga ini khusus masalah agama dan tidak menyangkut unsur Kafa’ah lainnya.[20]
2.        Ukuran-ukuran kafa’ah
a.    Dilihat dari segi agama
Orang Islam yang kawin dengan orang yang bukan Islam dianggap tidak sekufu, yakni tidak sepadan dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 dinyatakan:
Artinya:
b.    Dilihat dari segi Iffah
       Iffah artinya terpelihara dari segala yang haram dalam pergaulan. Maka bukan dianggap kufu bagi orang yang dari keturunan baik-baik, kawin dengan orang yang dari keturunan penzina, walaupun masih seagama. Sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. AN-Nur ayat 2.
Artinya: “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”[21]
  



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah membaca makalah tentang peminangan dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting yang dapat kita ambil. Setidaknya adalah sebagai berikut:
• Peminangan adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara langsung.
• Tidak ada dasar yang jelas dan spesifik tentang suruhan peminangan. Oleh karena itu kebanyakan dari ulama menyatakan hukumnya mubah, walaupun diantara mereka ada yang mewajibkannya dengan mengatakan bahwa pinangan adalah tradisi nabi.
• Hikmah dari pinangan adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan menikah.
• Peminangan ada dua macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang yang dipinang.
mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki,
Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.






Daftar Pustaka
Rasjid, Sulaiman.  2009. Fiqih Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Nur, Djaman.  FIQIH MUNAKAHAT.
Al-Qur’an Al-Karim.
Zainudin, Djedjen dan Mundzier Suparta.  2007. Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI. Semarang: Karya Toha Putra .
Mubarak. Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rifa’I, Moh. 1978. Fiaih Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra.



[1]  Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hal. 380.
[2] Drs. H. Djaman Nur, FIQIH MUNAKAHAT. Op.cit.hlm 14
[3] Lihat Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 22 dan 23
[4]  Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI, ( Semarang: Karya Toha Putra, 2007), hal. 52. 
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, ………….., hal. 381
[6] Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 53.
[7] Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 53.
[8] Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 66.
[9] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Edisi tahun 2002.
[10] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2, (Yoyakarta: Dana Bakhti Wakaf, 1995), hal. 86.
[11] Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 257.
[12] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2,……………, hal. 87.
[13] Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 67.

[14] http://elisa.ugm.ac.id.
[15] Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 66.
[16] Departemen Agama RI ,Fiqih, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam 2002,      hal. 51.
[17]  Moh. Rifa’I, Fiaih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 1978), hal. 464.
[18]  Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2,……………, hal. 73.
[19] Djedjen  Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 53.
[20] Moh. Rifa’I, Fiaih Islam Lengkap ,…………, hal. 471-472.
[21] Moh. Rifa’I, Fiaih Islam Lengkap ,…………, hal. 473.