BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah
SAW. Sejak dahulu hingga kini
ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk
mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan
adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak
adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh
perasaan cinta, suka maupun setia?
Makalah singkat yang kami susun ini akan membahas tentang
peminangan, yaitu sebuah prosesi awal sebelum menginjak kepada jenjang pernikahan. Prosesi yang melibatkan calon mempelai
beserta wali-walinya. Peristiwa yang bertujuan untuk saling mengenal agar lebih
erat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk saling hidup bersama.
Dalam
makalah kami ini
juga akan membahas tentang mahar
yang menjelaskan tentang tanda jadi serta kafa’ah atau keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama
yang menentang kafa’ah, sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama
yang menganut empat mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hambaliyah, sepakat dengan adanya kafa’ah walaupun dengan sudut
pandang yang berbeda.
Harapan kami, pembahasan tentang peminangan dan kafa’ah
ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata
kuliah Fiqih ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak
melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.
B.
Tujuan
masalah
1. Memahami pengertian peminangan dan seluk beluk
peminangan
2. Memahami pengertian mahar dan seluk beluk mahar
3. Memahami pengertian kafa’ah dan seluk beluk kafa’ah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peminangan
1.
Arti Peminangan
Meminang
artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[1]
Arti
Peminangan setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dikawini sesuai dengan
kriteria sebagaimana disebutkan, langkah selanjutnya adalah menyampaikan
kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak
untuk menikahi seseorang itu disebut dengan khitbah atau yang dalam bahasa
melayu disebut "Peminangan". adalah bahasa arab yang secara sederhana
diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan
perkawinan.Kata Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk
melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih mendifinisikannya dengan, menyatakan
keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan
pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini.
Peminangan
ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita. merupakan bahasa arab standart yang terpakai dalam
pergaulan sehari-hari; tedapat dalam Al-Qur'an sebagaimana dalam firman Allah
dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 235.
Dan
terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam
hadits dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang
dipercaya yang bunyinya:
"Bila
salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, bila ia mampu
melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah".
Peminangan
itu disyari"atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya
diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di
tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.
Diantaranya pihak laki-laki yang mengajukan pinangan kepada pihak perempuan dan
adakalanya pihak perempuan yang mengajukan pinangan ke pihak laki-laki.
Syari'at menetapkan aturan-aturan tertentu dalam peminangan ini, dalam tradisi
islam sebagaimana tersebut dalam Hadits Nabi yang mengajukan pinangan itu dari
pihak laki-laki itu sendiri yang datang ke pihak perempuan itu untuk
menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk
melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada dalam status orang yang menerima
pinangan.
2.
Hukum Peminangan.
Dalam
al-Qur'an dan hadits banyak Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak
ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan
peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat
yang jelas, baik dalam Al qur'an maupun dalam hadist nabi. Oleh karena itu,
dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya,
dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid
yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah
wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang
dilakukan Nabi dalam peminangan itu.
3.
Hikmah Disyari'atkan Peminangan
Setiap
hukum yang disari'atkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib,
selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat
peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan
sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling
mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin
al-Syu'bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:
اانه قال له وقد
خطب امراءة انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينكما
"Bahwa
nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag seseorang perempuan:
"melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan
perkawinan".
4. Syarat-syarat
Peminangan
a.
Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat
yang berupa anjuran kepada pihak laki yang akan meminang seorang wanita agar ia
meneliti dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat
dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
1)
Wanita yang akan dipinang itu telah
diteliti tentang keluarganya, akhlak dan agamanya, sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW :
عن أبى هر يرة رضى االله عنه عن
النبى صلى الله عليه وسلم تنكح المرأة لآربع لما لها ولحسبها ولجملها ولدينها
فاظفر بذات الدين تربت يداك . روه الجما عه الا الترمذي
Artinya
: dari Abu Hurairah ra. Dan Nabi saw beliau bersabda : Wanita itu dinikahi
karena 4 perkara, karena hartanya, kebangsawanannya/nasabnya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah pilihlah yang beragama,
mudah-mudahan engkau berhasil baik. (HR. Jamaah ahli hadis kecuali
At-Tirmidzi).
2) Wanita
yang dipinang adalah wanita yang mempunyai keturunan dan mempunyai sifat kasih
sayang. Sabda Nabi saw :
عن
أنس رضى االله عنه قال كان رسول الله النبى صلى الله عليه وسلم . يأمربالبأة وينهى
عن التبتل نهيا شديدا ويقول تزوجواالودوداالولود فاءنى مكا ثر بكم الأنبياء يوم
القيامة. روه احمد
Artinya
: Dari Anas ra. Beliau berkata, Rasulullah saw menyuruh orang yang sanggup
kawin, dan melarang dengan sangat hidup membujang selamanya. Selanjutnya Beliau
bersabda : “Kawinilah wanita yang mempunyai sifat kasih saying dan mempunyai
keturunan, sesungguhnya aku bangga pada hari kiamat nanti dengan melihat
jumlahmu yang banyak dibandingkan dengan jumlah ummat nabi-nabi yang lain (HR.
Ahmad). [2]
3) Wanita
yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang jauh dengan laki-laki yang
meminang. Agama melarang seorang laki-laki menikahi seorang winita yang sangat
dekat hubungan darahnya.[3]
b.
Syarat Lazimah
Yang
dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat
lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain :
1.
Wanita yang tidak dalam pinangan orang
lain atau sedang dalam pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan
hak pinangannya.
Sabda
Nabi saw :
المؤمن
أخوالمؤمن فلا يحل له أن يبتاع على بيع أخيه ولايخطب على خطبة أخيه حتى يزر . روه
أحمد و مسلم
Artinya
: orang mukmin adalah bersaudara, tidak boleh menawar barang yang sedang
ditawar oleh saudaranya, dan tidak boleh melamar wanita yang sedang dilamar
oleh saudaranya sampai saudaranya itu membatalkan tawaran atau pinangannya.
(HR.Ahmad dan Muslim).
2. Wanita yang dipinang hendaklah wanita yang halal
untuk dinikahi dalam artian wanita tersebut bukanlah menjadi mahram dari
laki-laki yang meminangnya.
5.
Syarat-Syarat Orang Yang Boleh Dipinang
Pada
dasarnya peminangan itu adalah sebuah proses awal dari perkawinan. Dengan
begitu perempuan-perempuan yang secara hukum syar' boleh dikawini oleh seorang
laki-laki, boleh dipinang. Hal ini berarti tidak boleh meminang orang-orang
yang secara syara' tidak boleh dikawini.
Perempuan
yang dingikan untuk dikawini oleh seorang laki-laki dapat dipisahan dalam
beberapa bentuk:
1.
Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan meskipun dalam kenyataannya telah
ditinggalkan oleh suaminya.
2.
Perempun yang ditinggal mati oleh suaminya, baik ia telah digauli suaminya atau
belum dalam artian ia telah menjalani massa iddah mati dari mantan suaminya.
3.
Perempuan yang telah bercerai dari suaminya secara tala' ra'ji dan dalam masa
iddah raj'i
4.
Perempuan yang telah bercerai dari suaminya dalam bentuk talak bain dan sedang
menunggu masa iddah tala' bain.
5.
Perempuan yang belum kawin.
Adapun
cara menyampaikan ucapan peminangan ada dua cara:
•
Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam artian tidak mungkin
difahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan: "saya
berkeinginan untuk mengawinimu."
•
Menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dalam istilah
kinayah. Yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan,
seperti ucapan: "tidak ada orang yang tidak suka kepadamu"
Rasulullah
saw bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ
أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ بَيْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ
يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ(متفق عليه).
Artinya:
“Seorang
mu’min adalah saudara mu’min lainnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh membeli
atau menawar sesuatu yang sudah dibeli/ ditawar saudaranya, dan dia tidak boleh
meminang seseorang yang sudah dipinang saudaranya, kecuali ia telah
dilepaskannya”.(Mutaffaq alaih).[4]
6. Hukum
melihat wanita yang akan dipinang
Sebagian
ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja.
Mereka beralasan kepada hadits Rasulullah saw. Berikut ini:
اِذَاخَطَبَ
اَحَدُكُمْ اِمْرَأَةً فَلاَ جُنَاحُ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِذَا كَانَ
اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ اِنْ كَا نَتْ لاَ تَعْلَمُ (رواه
أحمد)
Artinya:
“Apabila
salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan maka tidak berhalangan
atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk
mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”(Riwayat
Ahmad).[5]
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat
bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Melihat calon
istri untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, dipandang perlu untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari
penyesalan setelah menikah. Mughirah bin Syu’ban telah meminang perempuan.
Kemudian Rasulullah bertanya “ Apakah engkau telah melihatnya?” Mughirah
menjawab “Belum”. Rasulullah saw bersabda:
اُنْظُرْ اِلَيْهَا
فَإِنَّهُ أَحْرَى اَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَ (رواه النسا عى وابن ماجه والتر
مذي )
Artinya:
“Amat-amatilah
perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kedekatan
kamu.” ( HR. Nasa’i, ibnu Majah dan Tarmidzi).[6]
Mengenai batas-batas kebolehan melihat
bagian tubuh wanita yang dipinang, para ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur
ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan dua telapak tangan, karena
dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikan wajahnya.
Sedang menurut Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan adalah melihat wajah, dua
telapak tangan dan dua telapak kaki.[7]
7.
Batas Yang Boleh Dilihat
Meskipun
hadits nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada
batas-batas yang boleh dilihat dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama'.
•
Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian.
Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan
seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
•
Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
•
Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para
pengikut Hambali.
•
Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
•
Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini
berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika
meminang.
B. Mahar
1.
Pengertian Mahar
Yang dimaksud dengan mahar adalah
maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan
disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi
laki-laki, walaupun mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar
dalam suatu pernikahan dianggap penting, karena selain memang diwajibkan oleh
agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki
sebagai calon suami kepada calon istrinya.[8]
Allah swt berfirman: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”. (QS. An-Nisa: 4).[9]
Maskawin itu menjadi milik sepenuhnya si
istri. Suami tidak mempunyai hak apapun atas harta maskawin itu. Sebagaimana
juga tidak berhak atas harta benda si Istri. Apabila si istri merelakannya
kepada suami hal itu tidak mengapa.[10]
Cara pembayaran maskawin dapat dilakukan
dengan dua cara, pertama, pembayaran dilakukan secara tunai (cash) dan
kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian (utang, credit). Dalam kasus
mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan
kualitasnya dalam akad perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak
disebutkan.[11]
Akan tetapi apabila telah terjadi
hubungan seksual antara suami istri atau suami meninggal dan belum terjadi
hubungan seksual , maskawin wajib dibayar seluruhnya. Tetapi Imam Malik
berpendapat apabila suami meninggal sebelum terjadi hubungan seksual, tidak
wajib membayar maskawin. Dalam keadaan begini, menurut Malik, istrinya menerima
waris saja.[12]
Apabila suami menceraikan istrinya yang
belum dicampuri, jika maharnya sudah ditentukan besarnya, maka mantan suami
wajib membayar separuhnya. Akan tetapi apabila belum ditentukan besarnya maka
mantan suami tidak wajib membayarnya melainkan wajib membayar mut’ah. Mut’ah
ialah pemberian mantan suami kepada mantan istrinya yang dicerai sebagai
kenang-kenangan dan penghibur baginya.[13]
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqarah 236-237
2.
Macam-macam Mahar
Mahar
dibagi dalam 2 macam:
a.
Mahar
musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal akad
nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan
persetujuan kedua belah pihak.
b.
Mahar
mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang
diterima keluarga pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk
mahar belum ditetapkan.[14]
Mengenai
ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya jumlah mahar yang diberikan pihak
laki-laki, islam tidak menetapkannya dengan tegas, karena adanya perbedaan kaya
dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Pemberian mahar terutama didasarkan
kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karena Islam menyerahkan
masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku
di dalam masyarakat, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan
mudharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.[15]
Di
indonesia, bentuk mahar pada umumnya adalah perhiasan emas dan
perlengkapan/alat shalat. Dibolehkan pula mahar dengan kitab suci Alquran,
sepasang sendal, bahkan mahar yang berbentuk non materi, seperti membaca
ayat-ayat Alquran. Banyak hadits Nabi saw yang menerangkan aneka ragam bentuk
mahar yang diberikan pihak laki-laki. Antara lain:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخاري)
“Nikahlah engkau walaupun
(maharnya) berupa cincin dari besi.”( HR. Bukhari)
لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًا مِلْءَ
يَدَيْهِ طَعَامًا كَا نَتْ لَهُ حَلاَلاً (رواه احمد و ابو داود)
”Seandainya seorang laki-laki memberikan makanan sepenuh
tangannya saja sebagai mahar seorang perempuan, maka perempuan itu halal
baginya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
”Bahwasanya seorang perempuan Bani Fajrah menikah dengan
mahar sepasang sandal. Kemudian Rasulullah saw bertanya, ”apakah engkau relakan
dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal”? Perempuan itu menjawab, ”ya”. Lalu
Rasulullah membolehkannya.”[16]
3.
Adapun
syarat-syarat mahar ialah
1. Benda yang
suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat.
2. Milik suami.
3. Ada
manfaatnya.
4. Sanggup
menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampas
orang dan
tidak sanggup menyerahkannya.
5. Dapat
diketahui sifat dan jumlahnya.[17]
C. Kafa’ah
1.
Pengertian
Kafa’ah
Menurut
bahasa kafa’ah berarti serupa, seimbang atau serasi. Menurut istilah adalah
keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami baik dalam kedudukan,
status sosial, akhlak maupun kekayaannya sehingga masing-masing calon tidak
merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.[18]
Kalau
kita melihat pada Alquran ditinjau dari segi insaniyahnya, manusia itu sama
seperti tersebut pada surat Al-Hujarat ayat 13:
Artinya:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum kafa’ah dalam pernikahan
a.
Menurut ibnu Hazm kafa’ah tidak
dijadikan pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan. Muslim mana pun selama
bukan pezina berhak menikah dengan muslimah manapun selama bukan pezinah.
b.
Menurut Mahdzab Malikiyah beranggapan
bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam pernikahan. Yang dimaksud
kafa’ah disini menurut Malikiyah ialah untuk istiqamah dalam menjalankan ajaran
agama dan akhlak. Unsur-unsur lainnya, seperti kekayaan, keturunan, dan
sebagainya tidak dijadikan pertimbangan.
c.
Menurut jumhur ulama bahwa kafa’ah dalam
pernikahan sangat penting. Unsur kafa’ah tidak hanya terbatas pada istiqamah
dan akhlak, tetapi juga kafa’ah dalam unsur nasab, kemerdekaan, usaha, kekayaan
dan kesejahteraan.[19]
Para
ulama juga berbeda pendapat mengenai hal dalam kafa’ah tersebut.
a.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kafa’ah menjadi hak perempuan
dan para wali. Karenanya seorang wali tidak boleh menikahkan seseorang
perempuan dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, kecuali dengan
persetujuan wali-wali yang lain.
b.
Menurut golongan Syafi’i berpendapat
yang berhak terhadap wanita itu ialah yang menjadi walinya di saat itu.
c.
Sedangkan menurut riwayat imam Ahmad
Kafa’ah itu hak Allah. Sekiranya para wali setuju untuk mengabaikan kafa’ah
maka persetujuan tersebut tidak sah. Yang dimaksud kafa’ah menurut pendapat
yang ketiga ini khusus masalah agama dan tidak menyangkut unsur Kafa’ah
lainnya.[20]
2.
Ukuran-ukuran kafa’ah
a. Dilihat dari
segi agama
Orang
Islam yang kawin dengan orang yang bukan Islam dianggap tidak sekufu, yakni
tidak sepadan dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 dinyatakan:
Artinya:
b. Dilihat dari segi Iffah
Iffah artinya terpelihara dari segala
yang haram dalam pergaulan. Maka bukan dianggap kufu bagi orang yang dari
keturunan baik-baik, kawin dengan orang yang dari keturunan penzina, walaupun
masih seagama. Sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. AN-Nur ayat 2.
Artinya:
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”[21]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
membaca makalah tentang peminangan dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting
yang dapat kita ambil. Setidaknya adalah sebagai berikut:
• Peminangan adalah
proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan
perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara
langsung.
• Tidak ada dasar yang
jelas dan spesifik tentang suruhan peminangan. Oleh karena itu kebanyakan dari
ulama menyatakan hukumnya mubah, walaupun diantara mereka ada yang
mewajibkannya dengan mengatakan bahwa pinangan adalah tradisi nabi.
• Hikmah dari pinangan
adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan
menikah.
• Peminangan ada dua
macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan
orang yang dipinang.
mahar
adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib
bagi laki-laki,
Kufu
berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan
yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.
Daftar Pustaka
Rasjid,
Sulaiman. 2009. Fiqih Islam. Bandung
: Sinar Baru Algensindo.
Nur,
Djaman. FIQIH MUNAKAHAT.
Al-Qur’an
Al-Karim.
Zainudin, Djedjen dan Mundzier Suparta. 2007. Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI. Semarang:
Karya Toha Putra .
Mubarak. Jaih. 2002. Modifikasi
Hukum Islam studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Rifa’I,
Moh. 1978. Fiaih Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra.
[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), hal. 380.
[3] Lihat Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 22 dan 23
[4] Djedjen
Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI, (
Semarang: Karya Toha Putra, 2007), hal. 52.
[5] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, ………….., hal. 381
[6] Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 53.
[7] Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 53.
[8] Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 66.
[11] Jaih
Mubarak, Modifikasi
Hukum Islam studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 257.
[12] Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2,……………, hal. 87.
[13] Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 67.
[15]
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah
Aliyah Kelas XI,…………, hal. 66.
[17] Moh.
Rifa’I, Fiaih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 1978), hal.
464.
[18] Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2,……………, hal. 73.
[19] Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih
Madrasah Aliyah Kelas XI,…………, hal. 53.
[20] Moh. Rifa’I,
Fiaih Islam Lengkap ,…………, hal. 471-472.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar