BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu
pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan,
menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat
untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah
satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi
fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan
obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang
sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran
itu?
Jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu.
Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat
tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain
tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut).
Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus
individual, ada pula kebenaran umum universal
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
itu Definisi kebenaran ?
2. Apa
Saja Sifat Kebenaran ?
3. Bagaimana
Kriteria Kebenaran ?
4. Apa
Jenis Dari Kebenaran ?
5. Bagaimana
Teori Kebenaran ?
6. Dan
bagaimana mengetahui ukuran kebenaran. ?
C.
Tujuan Masalah
1. Menegetahui
Definisi kebenaran
2. Memahami
Sifat Kebenaran
3. Menegtahui
Kriteria Kebenaran
4. Untuk
Memahami Jenis Kebenaran
5. Menjelaskan
Teori Kebenaran
6. Untuk
mengetahui ukuran kebenaran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kebenaran
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran, yakni:
- Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya).
- Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya).
- Kejujuran atau kelurusan hati.
- Selalu izin; perkenanan.
Sedangkan kebenaran pengetahuan
dapat diartikan sebagai persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Yang
terpenting untuk diketahui adalah bahwa persesuaian yang dimaksud sebagai
kebenaran adalah merupakan pengertian kebenaran yang immanen yakni
kebenaran yang tetap tingal didalam jiwa dalam kata lain adalah keyakinan.[1]
Menurut Endang Saifuddin Anshari
dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama menulis bahwa agama dapat
diibaratkan sebagi suatu gedung besar perpustakaan kebenaran. Di dalam
pembicaraan mengenai “kepercayaan” dapat disimpulkan bahwa sumber kebenaran
adalah Tuhan. Manusia tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan
kebenaran-kebnaran pengetahuan, ilmu dan filsafat, tanpa kebenaran agama.
B.
Sifat Kebenaran
Berbagai kebenaran dalam Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (dalam Surajiyo, 2010) dibedakan
menjadi tiga hal, yakni sebagai berikut:
Kebenaran
yang pertama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa
setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui suatu objek
ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya pengetahuan itu
meliputi: pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan
pengetahuan agama.
Kebenaran
pengetahuan yang kedua berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari
bagaiman cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu.
Apakah membangunnya dengan penginderaan atau akal pikirnya, atau rasio,
intuisi, atau keyakinan.
Kebenaran
pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang
dikaitkan atas ketergantunan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana
relasi atau hubungan antar subjek dan objek.
C.
Kriteria Kebenaran
Berpikir merupakan suatu kegiatan
untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang
belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha
untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenenaran. Pada
setiap jenis pengetahuan tidak sama criteria kebenarannya, karena sifat dan
watak pengetahuan itu berbeda.[2]
Secara umum orang merasa bahwa
tujuan pengetahuan itu adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak
hanya sampai disitu saja, problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan
berkembangnya epistimologi (teori tentang hakikat dan ruang lingkup
pengetahuan).Telaah epistimologi terhadap kebenaran, membawa orang kepada suatu
kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran
epistimologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantic.Kebenaran
epistimologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan
manusia.Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar
yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran
dalam arti semantic adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur
kata dan bahasa.
Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan
tentang suatu ‘kebenaran’ itu sangat tergantung dari sudut pandang
filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Ada tujuh teori kebenaran
yang paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya.
D.
Jenis-Jenis Kebenaran
Ada tiga jenis kebenaran :
1.
Kebenaran
epistemologis yaitu “kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia”.
2.
Kebenaran
ontologis adalah “kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat
segala sesuatu yangg ada atau diadakan”.
E.
Teori Kebenaran
Teori
kebenaran menurut filsafat, Yaitu :
1. Teori Corespondence (korespondansi) menerangkan bahwa
kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.[4]
2. Teori Consistency (koherensi) Teori ini merupakan suatu
usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap
relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat
konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam
waktu dan tempat yang lain.[5]
3. Teori Pragmatisme Paragmatisme menguji kebenaran dalam
praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem
olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna
mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan
pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di
dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan
tuntutan-tuntutan lingkungan.[6]
4. Kebenaran Religius Kebenaran tak cukup hanya diukur
dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,
berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan
oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Kebenaran ilmiah menambahkan satu teori kebenaran yaitu
5. Kebenaran Proposisi Sesuatu kebenaran dapat diperoleh
bila proposisi- proposisinya benar dalam logika Aristoteles, proposisi benar
adalah bila sesuai denganpersyaratan formal suatu proposisi. Proposisi adalah
suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks.[7]
Descartes merumuskan pedoman penyelidikan supaya orang
jangan tersesat dalam usahanya mencapai kebenaran sebagai berikut:
Pertama,
janganlah sekali-kali mnerima sebagai kebenaran, jika tidak ternyata
kebenarannyadengan terang benderang, hauslah kita membuang segala prasangka dan
janganlah campurkan apapun juga yang tak nampak sejeas-jelasnya kepada kita,
hinga tak ada dasar sedikitpun juga untuk sanksi.
Kedua, rincilah
tiap kesulitan sesempurna-sempurnanya dan carilah jawaban secukupnya.
Ketiga,
aturlah pikiran dan pengetahuan kita sedemikian rupa, sehingga kita mulai dari
yamng paling rendah dan sederhana, kemudian meningkat dari sedikit, setapak
demi setapak untuk mencapai pengetahauan yang lebih sukar dan lebih ruwet.
Keempat, buatlah pengumpulan fakta sebanyak-banyaknya dan
selengkap-lengkapnya dan seumum-umumnya hingga menyeluruh, sampai kita tidak
khawatir kalau-kalau ada yang kelewatan.[8]
Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah
tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah,
pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula
dengan rasio
3. Tingkat filosofis, rasio dan
pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi
nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran
mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian
dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat
kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan
cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek
yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu.
Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah
panca indra.
Kebenaran itu
ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu,
membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
F. Ukuran Kebenaran
Berfikir
merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran apa yang disebut
benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain oleh karena itu
diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.
Untuk menemukan kebenaran ilmiah
seseorang harus bisa berpikir secara ilmiah, setidaknya ada 3 tahapan berpikir
yang harus dilalui, yaitu.[9]
1. Skeptik
Ciri
berpikir ilmiah ini ditandai oleh cara orang dalam menerima kebenaran informasi
atau pengetahuan tidak lansung diterima begitu saja, namun dia berusaha untuk menanyakan
fakta-fakta atau bukti-bukti terhadap setiap pernyataan yang diterimanya.
2. Analitik
Ciri
berpikir ilmiah kedua ditandai oleh cara orang dalam melakukan setiap kegiatan,
ia selalu berusaha menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, mana
yang relevan, dan mana yang menjadi masalah utama dan sebagainya. Dengan cara
ini maka jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi akan dapat diperoleh
sesuai dengan apa yang diharapkan.
3. Kritis
Ciri berpikir ilmiah ketiga ditandai
dengan orang yang selalu berupaya mengembangkan kemampuan menimbang setiap
permasalahan yang dihadapinya secara objektif. Hal ini dilakukan agar semua
data dan pola pikir yang diterapkan dapat selalu logis.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa kebanaran itu sangat ditentukan
oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebanaran ditentukan
oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Bahwa
kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang
sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita,
perisitiwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif
terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal.
Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera,
ada yang berupa ide-ide yang merupakan pemahaman potensi subjek (mental, rasio,
intelektual). Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian
manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi
subjek yang menjangkaunya. Semua teori kebanaran itu ada dan dipraktekkan
manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di
dalam kehidupan manusia.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan,
baik dari segi metode maupun content (isi). Kritik dan saran berupa
kontribusi pemikiran yang konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Inu Kencana Syafiie, 2004. Pengantar Filsafat. Bandung:
PT Refika Aditama.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001. Filsafat IlmuYogyakarta:
Liberty Yogyakarta cet. 3.
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. 2005. jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Hardono
Hadi, 1997. Epistemologi; Filsafat pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius,.
Surajiyo, 2009. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Cecep Sumarna, 2006. Filsafat Ilmu; Dari Hakikat Menuju
Nilai. Bandung : Pustaka Bani Quraisy,).
Noeng Muhadjir, 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake
Sarasin. cet. 2.
M. Solly Lubis, 1994. Filsfat Ilmu dan Penelitian. Bandung:
Mandar maju. cet.1.
A.
Fuad Ihsan, 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rineka Cipta,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar