BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ummat
Islam adalah ummat yang mulia, ummat yang dipilih Allah untuk mengemban
risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas ummat Islam adalah
mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka
berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Bahwa kenyataan ummat Islam kini jauh dari kondisi ideal, adalah akibat belum
mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra'd : 11).[1]
Potensi-potensi dasar yang dianugerahkan Allah kepada ummat Islam belum
dikembangkan secara optimal. Padahal ummat Islam memiliki banyak intelektual
dan ulama, disamping potensi sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah.
Jika seluruh potensi itu dikembangkan secara seksama, dirangkai dengan
potensi aqidah Islamiyah (tauhid), tentu akan diperoleh hasil
yang optimal. Pada saat yang sama, jika kemandirian, kesadaran beragama
dan ukhuwah Islamiyah kaum muslimin juga makin meningkat maka
pintu-pintu kemungkaran akibat kesulitan ekonomi akan makin dapat dipersempit.
Salah satu sisi ajaran Islam yang belum
ditangani secara serius adalah penanggulanagn kemiskinan dengan cara
mengoptimalkan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah dalam
arti seluas-luasnya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta
penerusnya di zaman keemasan Islam. Padahal ummat Islam (Indonesia) sebenarnya
memiliki potensi dana yang sangat besar. Apabila potensi tersebut dikelola
dengan baik dan disalurkan kepada yang berhak, tentunya dapat digunakan sebagai
sarana dalam meningkatkan perekonomian penduduk yang notabennya negara yang
berpenduduk islam terbesar di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat
berarti : tumbuh, berkembang; membersihkan; mensucikan. Menurut Hukum Islam
(istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu
dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan
kepada golongan tertentu. Penyebutan kata zakat
dalam bentuk ma’rifah dalam Al-Qur’an sebanyak 30 kali, 27
kali di antaranya disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan sisanya
disebutkan disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat meskipun tidak di
dalam satu ayat. Di antara ayat tentang zakat yang cukup populer adalah surat Al-Baqarah ayat
110 yang berbunyi “Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat”.
Selain zakat, Islam juga mengenal
adanya istilah shadaqah dan infaq, yang bahkan dalam beberapa ayat zakat
diungkapkan dengan istilah shadaqah[2] dan
infaq[3].
Sampai sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa sebenarnya ketiga kata tersebut
mempunyai unsur makna yang sama yaitu sama-sama perintah untuk mengeluarkan
harta bagi orang-orang yang tertentu, sedangkan perbedaannya terletak pada
wajib dan tidaknya mengeluarkan harta serta jumlah banyak harta yang harus
dikeluarkan.
Adapun syarat untuk dapat mengeluarkan
zakat, antara lain:
1.
Sampai
Nisab
2.
Haul
(telah dimiliki satu tahun)
3.
Harta
yang halal
4.
Terbebas
dari hutang
5.
Milik
penuh dan berkuasa menggunakannya
B.
Sejarah Zakat
Zakat diwajibkan
pada tahun ke-9 H, walaupun ada
sebagian ahli hadist yang
berpendapat bahwa zakat telah diwajibkan setelah hijrah dan dalam
kurun waktu lima tahun setelahnya.
Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau
ketentuan hukumnya. Peraturan
mengenai zakat muncul pada tahun ke-9 H ketika dasar
islam telah kokoh, wilayah negara berekspansi dengan cepat dan
orang berbondong-bondong masuk
islam. Peraturan yang di susun meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas zakat dan tingkat persentase zakat untuk barang
yang berbeda-beda.
Zakat pada masa
Rasulullah saw merupakan salah satu pendapatan
utama bagi negara. Yang pengeluaran hanya untuk golongan terterntu[4]
dan tidak dapat di belanjakan untuk pengeluaran umum negara. Lebih jauh
lagi zakat secara fundamental adalah pajak lokal[5].
Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
1.
Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin,
perkakas, ornamen, atau dalam bentuk lainnya.
2.
Benda logam yang terbuat dari perak seperti koin,
perkakas,ornamen atau dalam bentuk lainnya.
3.
Binatang ternak seperti unta,sapi,domba, dan kambing.
4.
Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5.
Hasil pertanian termasuk buah – buahan.
6.
Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh.
7.
Barang temuan.
C.
Pengelolaan Zakat Pada Masa
Khulafaurrasyidin
1.
Abu bakar Ash-shidiq (537-634 M)
Sejak menjadi khalifah, kebutuhan
keluarga Abu Bakar diurus dengan harta baitul maal, namun beberapa saat
menjelang ajalnya, negara kesulitan dalam mengumpulkan pendapatan yang kemudian
beliau memerintahkan untuk memberikan tunjangan sebesar 8000 dirham dan menjual
sebagian besar tanah yang dimilikinya untuk negara. Beliau sangat akurat dalam
penghitungan dan pengumpulan zakat kemudian ditampung di baitul maal dan
didistribusikan dalam jangka waktu yang tidak lama sampai habis tidak tersisa.
Pembagiannya sama rata antara sahabat yang masuk Islam terlebih dahulu maupun
yang belakangan, pria maupun wanita. Beliau juga membagikan sebagian tanah
taklukan, dan sebagian yang lain tetap menjadi milik Negara, juga mengambil
alih tanah orang-orang yang murtad untuk kepentingan umat Islam. Ketika beliau
wafat hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara karena memang harta
yang sudah dikumpulkan langsung dibagikan, sehingga tidak ada penumpukan harta
di baitul maal.
Zakat
pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq Abu Bakar tidak punya kesempatan cukup luas
untuk menata pemerintahan dengan baik karena munculnya masalah-masalah serius
seperti adanya nabi palsu & penolakan membayar zakat Adanya sanksi massal
atas penolakan membayar zakat, yakni diperangi oleh negara dengan keras. Masalah keakuratan
perhitungan zakat sangat diperhatikan. Abu Bakar mengambil langkah-langkah tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat
islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rasulullah saw. Pada waktu itu Abu Bakar
memerintahkan pasukannya untuk menyerang suku-suku Arab yang menolak membayar
zakat dan meninggalkan Islam (murtad).
2.
Umar bin Khattab (584-644M)
Baitul maal pada masa ini tertata
baik dan rapi lengkap dengan sistem administrasinya karena pendapatan negara
meningkat drastis. Harta baitul maal tidak dihabiskan sekaligus, sebagian
diantaranya untuk cadangan baik untuk kepentingan darurat, pembayaran gaji
tentara, dan kepentingan umat yang lain. Baitul maal merupakan pelaksana
kebijakan fiskal negara Islam. Khalifah mendapat tunjangan sekitar 5000 dirham
per tahun. Harta baitul maal adalah milik kaum muslimin sedang khalifah dan
amil hanya pemegang amanah. Untuk mendistribusikan harta baitul maal umar juga mendirikan:
departemen pelayanan militer, departemen kehakiman dan eksekutif, departemen
pelayanan dan pengembangan Islam, dan departemen jaminan sosial. Umar juga
mendirikan dewan islam yang bertugas memberikan tunjangan-tunjangan angkatan
perang dan pensiun.[6]
Selain itu Umar juga membagikan
harta dalam bentuk benda, dua ember makanan sebulan, dua karung gandum dan cuka
untuk satu orang. Dalam memperlakukan tanah taklukan, Umar tidak membaginya
kepada kaum muslimin tetapi tetap pada pemiliknya dengan syarat membayar jizyah
dan kharaj. Umar juga mensubsidi masjid masjid dan madrasah-madrasah.
Umar
membagi pendapatan negara menjadi empat yaitu: zakat dan ushr didistribusikan
di tingkat lokal, khums dan sedekah, didistribusikan untuk fakir miskin baik
muslim maupun non muslim, kharaj, fai, jizyah, pajak perdagangan, dan sewa
tanah untuk dana pensiun, daba operasional administrasi dan militer, dan
pendapatan lain-lain untuk membayar para pekerja, dan dana sosial.
Zakat pada masa Umar bin al-Khattab
Tingkat kemakmuran negara cukup tinggi karena berhasil memaksimalkan potensi
baitul mal (bahkan penerimaan baitul mal mencapai 18 juta dirham. Pendapatan
negara lain yang dioptimalkan yakni zakat, usyr, kharaj, jizyah, dan sebagainya.
Zakat juga
diposisikan sebagai sumber pendapatan utama negara Islam. Zakat dijadikan
ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum.
Pengenaan zakat atas harta berarti menjamin penanaman kembali dalam perdagangan
dan perniagaan yang tidak perlu dilakukan dalam pajak pendapatan.[7]
Hal ini juga akan memberi keseimbangan antara perdagangan dan pengeluaran.
Dengan demikian dapat dihindari terjadinya suatu siklus perdagangan yang
membahayakan. Semua surplus pendapatan dalam jumlah-jumlah tertentu harus diserahkan kepada negara, kemudian
dana itu di kelola sedemikian rupa sehingga tak seorangpun yang memerlukan
bantuan, perlu merasa malu mendapatkan sumbangan. Hal ini juga berkaitan dengan
hukuman berat bagi orang yang tidak mau membayar zakat sehingga orang tersebut
dapat didenda sebesar 50% dari jumlah kekeyaannya.
3.
Usman bin Affan (577-656M)
Usman meneruskan kebijakan pada masa
Umar. Khalifah usman tidak mengambil upah dari kantornya. Beliau juga
mengurangi zakat dari pensiun dan menambahkan santunan dengan pakaian. Kemudian
juga memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang
menderita, pengembara dan orang miskin. Beliau membagi tanah taklukan dari
kerajaan persia yang pada masa Umar disimpan sebagai lahan negara yang tidak
dibagi-bagi sehingga pendapatan dari tanah ini meningkat dari 9 juta ke 50 juta
dirham.[8]
Zakat
pada masa Usman bin Affan Puncak kemajuan administrasi pengelolaan zakat dengan
terobosan-terobosan seperti tugas menghitung zakat yang diserahkan kepada amil
zakat, pengangkatan Zaid bin Tsabit sebagai penanggung jawab Baitul Mal .
Kebijakan Usman lain yang terkenal adalah pengelolaan harta dhahir dan harta
bathin Harta dhahir dipungut dan dikelola oleh negara. Sedangkan untuk harta
bathin tidak termasuk zakat harta yang dipungut negara. Harta dhahir adalah
harta yang dimungkinkan mengetahui dan menghitungnya oleh orang yang bukan
pemiliknya. Seperti : harta hasil pertanian dan hewan ternak Harta bathin
adalah harta yang hanya diketahui dan dihitung oleh pemiliknya saja. Seperti :
harta berupa uang dan harta perdagangan.
Usman bin Affan
dilaporkan bahwa untuk mengamankan dari gangguan dan masalah dalam pemeriksaan
kekayaan yang tidak jelas dari beberapa pengumpul yang nakal, Usman
mendelegasikan kepada para pemilik untuk menaksir kepemilikannya sendiri.
Pelaksanaan
pemungutan zakat di masa pemerintahan Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin
menjadi bukti arti penting zakat bagi pembangunan negara. Sehingga sebenarnya
tidak beralasan bagi sebagian pendapatan yang meragukan keefektifan zakat dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. [9]
Persoalan selama ini, zakat sering di kaitkan dengan masalah politik,
sebenarnya hal itu tidak terjadi jika satu sama lain meyakini bahwa zakat
sebagai suatu kewajiban yang memiliki fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, baik muslim dan non muslim (bagi non muslim dikenekan jizyah).[10]
Usaha untuk
mengoptimalkan konsep zakat telah
lama dilakukan di negara Indonesia, namun karena disebabkan banyak hal, baru
akhirnya pada masa pemerintahan Habibie konsep zakat baru dapat dilegalisasikan
dengan lahirnya Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat.[11]
4.
Ali Bin Abu Thalib (600-661M)
Ali adalah orang yang sangat
sederhana. Beliau secara sukarela menarik diri dari daftar penerima bantuan
baitul maal, bahkan memberikan 5000 dirham setiap tahunnya. Beliau sangat ketat
dan berhati-hati dalam menjalankan keuangan negara. Ali juga menaikkan
tunjangan para pengikutnya di Irak. Ali memiliki konsep yang jelas mengenai
pemerintahan, administrasi umum dan permasalahan yang berkaitan dengannya.
Zakat pada
masa Ali bin Abi Thalib Ali terkenal sangat sederhana, secara sukarela menarik
diri dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal. Bahkan ia menyumbang 5000
dirham ke Baitul Mal setiap tahunnya. Ali terkenal sangat ketat menjalankan
keuangan negara. Meskipun di masa pemerintahannya terjadi kekacauan politik,
namun ia tetap mampu mengatur sistem kolektif pengumpulan dan pembagian zakat.[12]
D. Fungsi dan Peranan Lembaga Amil Zakat pada
Masa Khulafaurrasyidin
1.
Berfungsi untuk mensejahterakan rakyat
2.
Pengingatan kepada muzakki bahwa hartanya milik
Allah
3.
untuk cadangan baik untuk kepentingan
darurat, pembayaran gaji tentara, dan kepentingan umat yang lain
4.
mensubsidi masjid masjid dan
madrasah-madrasah
5.
sebagai sumber pendapatan utama
negara Islam
6.
menjamin penanaman kembali dalam
perdagangan dan perniagaan yang tidak perlu dilakukan dalam pajak pendapatan
7.
memberi keseimbangan antara perdagangan
dan pengeluaran
8.
dapat menghindari terjadinya suatu siklus
perdagangan yang membahayakan
9.
menjadi bukti arti penting zakat bagi
pembangunan negara
E.
Kiprah
Amil Pada Masa Khulafaurrayidin
Islam adalah agama yang sempurna,
mengatur segala aspek kehidupan manusia baik secara vertikal (hablumminallah)
maupun horisontal (hablumminannas). Islam juga menjamin kehidupan manusia
bahagia dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat. Kesempurnaan Islam
tersebut telah dibuktikan dan dirasakan ummat pada masa Rasulullah dan pada
sahabatnya.
Zakat adalah
suatu kewajiban bagi umat Islam yang telah ditetapkan dalam Alquran, Sunah
Nabi, dan Ijma’ para ulama. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang selalu
disebutkan sejajar dengan shalat. Inilah yang menunjukkan betapa pentingnya
zakat sebagai salah satu rukum Islam. Bagi mereka yang mengingkari kewajiban
zakat maka telah kafir, begitu juga mereka yang melarang adanya zakat secara
paksa. Jika ada yang menentang adanya zakat, harus dibunuh hingga mau
melaksanakannya.
Kiprah Amil Pada Masa Rasulullah SAW
Dan Khulafaurrasyidin
Sebagaimana diketahui zakat tidak hanya menyangkut urusan individu, dalam arti urusan muzakki dengan mustahik, tetapi terdapat peran amil sebagai penghubung dan penyambung antara yang membayar dengan yang menerima zakat.[13] Peran amil secara eksplisit terungkap dalam dua ayat Alquran surat At-Taubah ayat 60 dan 103.
Sebagaimana diketahui zakat tidak hanya menyangkut urusan individu, dalam arti urusan muzakki dengan mustahik, tetapi terdapat peran amil sebagai penghubung dan penyambung antara yang membayar dengan yang menerima zakat.[13] Peran amil secara eksplisit terungkap dalam dua ayat Alquran surat At-Taubah ayat 60 dan 103.
Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di masa Rasulullah SAW, yang
diangkat dan ditugaskan sebagai amil zakat bukanlah sembarang orang, melainkan
orang-orang terbaik dan kepercayaan dari pemimpin negara dalam hal ini
Rasulullah, seperti Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, dan lain-lain. Mereka
diutus sampai ke daerah luar kota Madinah untuk memungut zakat dari harta para
muzakki dan didistribusikan kepada orang-orang yang menurut ketentuan syariah
berhak menerimanya. Pelaksanaan zakat sebagai rukun Islam dan sarana untuk
mewujudkan keadilan sosial tidak akan dapat berjalan secara sempurna, tanpa
adanya kepercayaan muzaki terhadap ke-amanahan amil maupun kepercayaan amil
terhadap mustahik.
Pada masa Umar dibentuk
lembaga-lembaga yang mengelola administrasi kekayaan negara.[14]
Salah satunya adalah diwan yang diadopsi dari praktik pemerintahan persia.
Selain itu dikenal pula bait al-mal yang sebelumnya telah ada pada masa Nabi
Muhammad SAW. dan Abu Bakar secara konseptual bait al-mal tidak dipahami
sebagai bangunan fisik, tetapi lebih sebagai tujuan , artinya bait al-mal lebih
sebagai institusi yang abstrak.[15]
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lembaga zakat mengandung potensi luar biasa untuk memperbaiki masyarakat.
Lembaga ini harus kita manfaatkan dalam suatu cara yang sistematis melalui
badan pemerintah, guna membiayai program kesejahteraan sosial dan jaminan
sosial negara. Seluruh komponen pengelola zakat di Indonesia melalui organisasi
asosiasinya, yaitu Forum Zakat (FOZ) telah dengan susah payah menyusun cetak
biru zakat Indonesia. Di dalamnya disebutkan tahapan penataan zakat di
Indonesia. Bahwa pada masa sekarang ini (periode sampai 2015) adalah tahapan
menyiapkan kerangka landasan menuju integrasi zakat nasional. Dimana fokus kita
semua saat ini adalah memperbaiki kualitas amil zakat (baik individu perorangan
maupun organisasinya) dan membuat berbagai standar manajemen untuk panduan
pengelolaan dan pengawasan kinerja OPZ. Sekaligus melakukan kerjasama, sinergi
dan aliansi dalam rangka mencapai integrasi zakat nasional yang sebaik-baiknya.
Semoga kita semua tetap berkomitmen dan bekerja sepenuh hati dalam memperbaiki
perzakatan di Indonesia.
zakat
menjadi salah satu sendi agama Islam yang menyangkut harta benda dan bertujuan
kemasyarakatan. Sangat banyak ayat al-Quran yang menyebutkan perihal zakat
dengan ungkapan yang beraneka macam, disertai pula dengan ancaman-ancaman
terhadap para wajib zakat yang mengabaikannya. Dalam banyak ayat kewajiban
zakat disebutkan bersama-sama dengan kewajiban shalat. Hal itu mengisyaratkan
bahwa kewajiban zakat adalah sama pentingnya dengan kewajiban shalat,
kedua-duanya merupakan sendi-sendi agama Islam.
Di
masa Rasulullah SAW, yang diangkat dan ditugaskan sebagai amil zakat bukanlah
sembarang orang, melainkan orang-orang terbaik dan kepercayaan dari pemimpin
negara dalam hal ini Rasulullah, seperti Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal,
dan lain-lain. Mereka diutus sampai ke daerah luar kota Madinah untuk memungut
zakat dari harta para muzakki dan didistribusikan kepada orang-orang yang
menurut ketentuan syariah berhak menerimanya. Pelaksanaan zakat sebagai rukun
Islam dan sarana untuk mewujudkan keadilan sosial tidak akan dapat berjalan
secara sempurna, tanpa adanya kepercayaan muzaki terhadap ke-amanahan amil
maupun kepercayaan amil terhadap mustahik
DAFTAR PUSTAKA
Nurudin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan
Fiskal. Jakatra: Raja Grafindo Persada.
Prides, Tim Manajemen. Kompilasi Perundang-Undangan Tentang
Ekonomi Syariah.
Mohammad Daud Ali, 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf.
Jakarta: Ui-Press.
Undang-Undang Republik Indonesia No 38
Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Mohammad Daud Ali, 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf.
Jakarta: Ui-Press.
Http://Zakat-Baz-Bantul.Org/Berita-111-Zakat-Pada-Zaman-Nabi-Dan-Para-Sahabat.Htm
K.H. Didin Hafidhuddina. 2002. Zakat
Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
H.A. Djazuli Dan Yadi Janwari.2007 Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat
(Sebuah Pengenalan), Jakarta : Sinar Ilmu.
[1] “Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri”
[2] “Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan
mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (At- Taubah ayat 103)
[3] “Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
(QS. At - Taubah ayat 34)
[4] Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Taubah: 60)
[5] Rasulullah berkata
kepada Muadz (ketika mengirimnya ke Yaman sebagai pengumpul dan pemberi zaka
“…Katakanlah kepada mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka
untuk membayar zakat yang diambil dari orang kaya diantara mereka dan memberikannya
kepada orang miskin diantara mereka”. (HR. Bukhori)
[6]
Mohammad Daud Ali, 1988. sistem
ekonomi islam zakat dan wakaf. Jakarta: UI-Press. Hal 39-40
[7] Nurudin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal. Jakatra: Raja
Grafindo Persada.Hal 47
[8]
http://zakat-baz-bantul.org/berita-111-zakat-pada-zaman-nabi-dan-para-sahabat.htm
[10]
Mohammad Daud Ali, 1988. sistem
ekonomi islam zakat dan wakaf. Jakarta: UI-Press. Hal 38-39
[12]
K.H. Didin Hafidhuddina. 2002. Zakat dalam perekonomian
modern. Jakarta: Gema Insani. Hal 126
[14] H.A. Djazuli dan Yadi
Janwari.2007 Lembaga-lembaga perekonomian umat
(sebuah pengenalan), jakarta : sinar ilmu. hal. 39
[15] H.A. Djazuli dan Yadi
Janwari.2007 Lembaga-lembaga perekonomian umat
(sebuah pengenalan), jakarta : sinar ilmu. hal. 45-47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar