Mencari kehalalan dalam Berbuat

Senin, 29 Desember 2014

tafsir ayat-ayat isra'iliyat



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setelah membenahi cara memperoleh pengetahuan, filosof mulai menghadapi objek-objeknya untuk memperoleh pengetahuan. Objek-objek itu dipikirkan secara mendalam sampai pada hakikatnya. Inilah sebabnya bagian ini dinamakan teori hakikat. Ada yang menamakan bagian ini ontologi.
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang keadaan. [1]
Apa itu hakikat? Hakikat ialah realitas; realitas ialah ke-real-an; “real” artinya kenyataan yang sebenarnya; jadi, hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah. Lihatlah pengandaian ini. Pada hakikatnya pemerintahan demokrasis menghargai pendapat rakyat. Mungkin orang pernah menyaksikan pemerintahan itu melakukan tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai pendapat rakyat. Itu hanyalah keadaan sementara, bukan hakiki. Yang hakiki pemerintahan itu demokratis. Kita melihat suatu objek, fatamorgana. Apakah real atau tidak? Tidak. Fatamorgana itu bukan hakikat, atau hakikat fatamorgana adalah tidak ada itu. Itulah dua contoh dari hakikat realitas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu pengertian ontologi ilmu  secara bahasa, istilah, serta struktur dari pengetahuan ilmu ?
2.      Apa itu klasifikasi, asumsi, metode dalam konteks filsafat ?

C.    Tujuan masalah
1.      Untuk memahami pengertian ontolgi ilmu secara istilah, serta struktur dari pengetahuan ilmu.
2.      Mengetahui klasifikasi, asumsi, metode dalam konteks filsafat.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Ontologi Ilmu
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu. Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.[2]
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris.
Ontologi menurut Anton Bakker, merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala sesuatu yang mengada segenapnya.Beberapa dasar-dasar ilmu menurut ontology.[3]
1.      Struktur pengetahuan ilmu
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Ada beberapa pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi”. Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam dirinya sendiri?” Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan katagori-katagori seperti : ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada. Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal tergantung padanya bagii eksistensinya.
Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hall yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’. Oleh sebab itu, orang bisa menggunakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.
Beberapa ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering menggunakan istilah “metafisika universal” dan ”filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi. Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi “ yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.
Hakikat yang dimaksud disini adalah suatu bentuk yang ada didalamnya realitas, baik secara transdental melalui aksidentalnya dari tuhan yang merupakan ciptaannya, dengan segala pluralitasnya yang berbentuk ( alam dunia ini ) atau yang tidak terbentuk ( abstrak ) untuk dipahami dan diketahui eksistensinya, ataupun secara ideal dan empirik.[4]

2.      Asumsi-asumsi Ilmu
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.[5]
            Bersumber dari semua itu, suatu hakikat kebenaran terdiri atas berikut ini.
a.       Ontologi  pada dataran transpenden
Ontology pada dataran transpenden adalah suatu hakikat proses adanya kebenaran berdasarkan nilai nilai teologis. Alam semesta adalah bentuk dari aksidental tuhan yang merupakan ciptaannya sebagai bentuk realitas tuhan ada. Alam semesta dan segala isinya seperti samudra, sungai pegunungan, dataran rendah, pepohonan, tanam-tanaman sayur-sayuran, udara, air, hutan, buah-buahan dan sebagainya.
b.      Ontologi pada dataran ideal
Ontology pada dataran ideal adalah hakikat proses adanya kebenaran melalui proses adanya kebenaran melalui proses berfikir, baik dalam bentuk gagasan, ide dan konsep. Idealism adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam ketergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Istilah ini diambil dari ide yaitu sesuatuyang hadir dalam jiwa.
c.       Ontologi pada dataran empiris
Ontology pada dataran empiris adalah hakikat proses adanya kebenaran melalui pancaindra. Ontology pada dataran ini memunculkan aliran empirismem realisme, positivism,, dan materialisme. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani “empeiria” yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.
Dalam pemahaman bahwa ontology dipahami sebagai teori dan paradigma dalam memahami kebenaran maka dalam studinya, ontology harus pula dipahami sebagai berikut.
1.      Yang ada (being)
Istilah ada boleh dikatakan senantiasa menunjukkan suatu cirri yang melekat pada apa saja. Sesuatu tersebut bias tuhan, ataupun manusia. Sesuatu yang ada tersebut terdiri atas berbagai unsure, yakni subjek yang menciptakan, objek yang diciptakan, objek dengan ruang serta waktu dalam proses penciptaan.
2.      Yang nyata (reality)
Yang nyata dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang benar-benar ada (konkrit)
3.      Esensi dan eksistensi (essence and existence)
Essensi dapat dipahami sebagai kekuatan spiritual.
4.      Hakikat pluralisik (emosional, berfikir, keyakinan)

B.     Ontologi Ilmu Dalam Konteks Filsafat Ilmu
1.      Realistic empiric
Realistic empiric berupa :
a.       Gejala alamiah yang menghasilakn ilmu-ilmu eksak
b.      Gejala social yang menghasilkan ilmu-ilmu kemasyarakatan
c.       Gejala budaya yang menghasilkan ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya ideal (pemikiran) yang sifatnya empiric (pancaindra)[6]
2.      Objek kajian ilmu
Objek kajian ilmu tersebut adalah objek kajian ilmu dan setiap ilmu yang telah dipaparkan diatas.
3.      Masalah yang akan diteliti
Masalah memiliki pengertian kesenjangan antara das sollen  dan das sain.
C.    Klasifikasi ontologi
1.      Ontologi pada dataran transenden, yakni hakikat proses adanya kebenaran berdasarkan nilai-nilai teologis
2.      Ontology pada dataran ideal yakni hakikat proses adanya kebenaran melalui proses berfikir, baik dalam bentuk gagasan ide, konsep. Ontology pada dataran ini nmemunculkan aliran idealism, rasionalisme, eksistensialisme.

D.    Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.[7]
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
E.     Konsep ontologi
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu:
a.       Umum dan tertentu
b.      Kesengajaan (substance) dan ketidaksengajaan (accident)
c.       Abstrak dan kongkrit
d.      Esensi dan eksistensi
e.       Determinisme dan indeterminisme

1.   Umum (universal) dan Tertentu (particular)
Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu, misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau disederhanakan melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau ”menjadi hijau”.
Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu. Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular), seseorang tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa menambahkan sesuatu yang baru pada tiruannya.
2.   Substansi (substance) dan Ikutan (accident)
Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek, atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi. Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, ”ikutan” adalah kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur, ukuran, bentuk dsb.
3.   Abstrak dan Kongkrit
Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis (permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit). Kongkrit adalah obyek yang ”ada” pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia.
4.   Esensi dan eksistensi
Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek, jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi (existere: tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera.

5.   Determinisme dan indeterminisme
Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya.
Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap determinisme. Para penganut indeterinisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor kesempatan (chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan (necessity) dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan sesuai asalnya.
F.     Aliran-aliran Yang Membahas Ontologi
1.      Menurut materialisme (sering juga disebut naturalisme), hakikat benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa, spirit, dan sebangsanya muncul dari benda. Rohani dan kawan-kawannya itu tidak akan ada seandainya tidak ada benda. Bagi naturalisme, roh, jiwa, itu malahan tidak diakui adanya, tentu saja termasuk Tuhan. Materialisme tidak menyangkal adanya spirit, roh, termsuk Tuhan. Akan tetapi spirit, Tuhan, itu muncul dari benda. Jadi, roh, Tuhan, spirit, itu bukan hakikat.[8]
Menurut materialisme, hakikat manusia adalah materi. Maka menurut paham ini manusia itu hakikatnya ialah seperti ia kelihatan. Rohani manusia memang ada , tetapi bukan hakikat. kepuasan dan kebahagiaan terletak pada badan; jika badan hancur, karen amencuri atau karena mempertahankan kebenaran, maka selesailah manusia itu, rohnya hiulang tidak keruan bersama badan. Tentu tidak ada soal neraka atau surga.
Aliran ini adalah aliran yang tertua. Ada beberapa alasan mengapa aliran ini dapat berkembang. Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan, yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. Pikiran yang masih sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu diluar ruang yang abstark.
Penemuan-penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Maka peristiwa jiwa selalu selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa itu. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda, seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya ini memperkuat ugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda.
Mengenal asal manusia, menurut materialisme adalah materi; menurut idealisme, hidup manusia berasal dari Yang Hidup. Demikian juga pikiran-pikiran aliran ini mengenai tujuan manusia. Bagi materialisme, mati adalah hal yang amat sederhana, tetapi tidak demikian pada idealisme. Bagi paham ini, mati adalah lanjutan hidup di dunia ini.
2. Menurut orang-orang idealis justru sebaliknya. Yang hakikat adalah rohnya. Paham ini kan berujung pada Tuhan, surga, neraka.Idealisme berpendapat sebaliknya; hakikat benda adalah rohani, spirit atau sebangsanya. Alasan skeptisism mereka ialah sebagai berikut.
a.       Nilai roh lebih tinggi daripada badan
b.      Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
c.       Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang, benda tidak ada, yang ada energi itu saja (Oswald).
3. Aliran dualisme mudah ditebak. Yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua, material dan imaterial, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari roh, dan roh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kesulitan yang dihadapi aliran ini ialah menjawab pertanyaan: Bagaimana kesesuaian kedua-duanya seperti pada manusia? Jawab dualisme: Itu sudah distel seperti tenaga dan jarum pada jam. Persoalannya lebih rumit: Siapa yang menyetelnya? Bagaimana cara menyetelnya?
Karena itulah mungkin para penganut skeptisisme berpendapat: Diragukan apakah manusia mampu mengetahui hakikat. mungkin dapat, mungkin tidak.







BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being) dalam perspektif ilmu ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil ke-Ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.


B.     Saran
Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum mencapai kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritikan, saran, motivasinya dari teman-teman, pak dosen agar makalah ini bisa dibuat dengan lebih baik dikedepannya.















DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Tafsir Ahmad. 2010. Filsafat Umum (Akal Dan Hati Sejak Tales Sampai Capra). Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya.
Jujun S. Suriasuantrim. 1998. Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.  
Langeveld, M.J. 2001. Menuju Kepimikiran Filsafat. Jakarta: Putra Sarjana.
Anton Bakker. 1992. Ontologi Metafisika Umum. Yogyakarta : Pustaka Kanisius.
Muhammad. Solihin. 2007. Perkenbangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. Bandung : CV Pustaka Setia.
Lorens Bagus.1996. Kamus Filsafat.
Loouis O. 2004. Kattsouff. Pengantar filsafat, Yogjakarta : Tiara Wacana. Cet. IX.



[1] Langeveld, M.J. Menuju Kepimikiran Filsafat. ( Jakarta: Putra Sarjana. 2001 ).  h. 104
[2] Prof. Dr. Tafsir Ahmad, Filsafat Umum (Akal Dan Hati Sejak Tales Sampai Capra). Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya 2010. Hlm: 23
[3] Anton Bakker. Ontologi Metafisika Umum. ( Yogyakarta: Pustaka Kanisius  1992 ). hal 84
[4]  Muhammad. Solihin. Perkenbangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. ( Bandung : CV Pustaka Setia 2007 ). Hal 170.
[5] Lorens Bagus . Kamus Filsafat,:1996, hal. 746
[6] Jujun S. Suriasuantrim . Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Jakarta  :  Pustaka Sinar Harapan, 1998. Hal 76
[7] Ibid. hal 747
[8] Louis O. Kattsouff. Pengantar filsafat, Yogjakarta : Tiara Wacana, 2004. Cet. IX, h. 132.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar