BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah membenahi cara
memperoleh pengetahuan, filosof mulai menghadapi objek-objeknya untuk
memperoleh pengetahuan. Objek-objek itu dipikirkan secara mendalam sampai pada
hakikatnya. Inilah sebabnya bagian ini dinamakan teori hakikat. Ada yang
menamakan bagian ini ontologi.
Bidang pembicaraan teori
hakikat luas sekali, segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga
mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan
hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang keadaan. [1]
Apa itu hakikat? Hakikat ialah
realitas; realitas ialah ke-real-an; “real” artinya kenyataan yang sebenarnya;
jadi, hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu,
bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah.
Lihatlah pengandaian ini. Pada hakikatnya pemerintahan demokrasis menghargai
pendapat rakyat. Mungkin orang pernah menyaksikan pemerintahan itu melakukan
tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai pendapat rakyat. Itu hanyalah
keadaan sementara, bukan hakiki. Yang hakiki pemerintahan itu demokratis. Kita
melihat suatu objek, fatamorgana. Apakah real atau tidak? Tidak. Fatamorgana
itu bukan hakikat, atau hakikat fatamorgana adalah tidak ada itu. Itulah dua
contoh dari hakikat realitas.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertian ontologi ilmu secara bahasa, istilah, serta struktur dari
pengetahuan ilmu ?
2. Apa itu klasifikasi, asumsi, metode
dalam konteks filsafat ?
C.
Tujuan masalah
1. Untuk memahami pengertian ontolgi
ilmu secara istilah, serta struktur dari pengetahuan ilmu.
2. Mengetahui klasifikasi, asumsi,
metode dalam konteks filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ontologi Ilmu
Ontologi
ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang
inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat
tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu. Paham monisme yang terpecah menjadi
idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologi yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan
kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana
manifestasi kebenaran yang kita cari.[2]
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales,
Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara
penampakan dengan kenyataan. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang
ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi
ilmu-ilmu empiris.
Ontologi
menurut Anton Bakker, merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan
paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala pertanyaan dan penelitian
lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi berusaha memahami keseluruhan
kenyataan, segala sesuatu yang mengada segenapnya.Beberapa dasar-dasar ilmu
menurut ontology.[3]
1. Struktur pengetahuan ilmu
Ontologi dalam bahasa Inggris
“ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi,
ilmu tentang). Ada beberapa pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi”.
Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang Ada
dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara
khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat abstrak studi
tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam dirinya sendiri?”
Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang
menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang
menggunakan katagori-katagori seperti : ada/menjadi, aktualitas/potensialitas,
esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada. Ketiga, ontologi bisa
juga merupakan cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang
terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal tergantung padanya bagii
eksistensinya.
Istilah ontologi muncul sekitar
pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang ada
(philosophia entis) digunakan untuk hall yang sama. Menurut akar kata Yunani,
ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’. Oleh sebab itu, orang bisa
menggunakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut
sebagai metafisika. Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian
pertama metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas
sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada
tersebut.
Beberapa ahli filsafat memang banyak
hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik dalam
garis benang yang saling berkaitan maka ada beberapa hubungan yang hampir sama
bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang
sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang
predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia
sering menggunakan istilah “metafisika universal” dan ”filsafat pertama”
sebagai sinonim ontologi. Heidegger memahami ontologi sebagai analisis
konstitusi “ yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan
eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.
Hakikat yang dimaksud disini adalah
suatu bentuk yang ada didalamnya realitas, baik secara transdental melalui
aksidentalnya dari tuhan yang merupakan ciptaannya, dengan segala pluralitasnya
yang berbentuk ( alam dunia ini ) atau yang tidak terbentuk ( abstrak ) untuk
dipahami dan diketahui eksistensinya, ataupun secara ideal dan empirik.[4]
2. Asumsi-asumsi Ilmu
Objek telaah ontologi adalah yang
ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di
lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika
kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang
yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas
tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam
rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam
semua bentuknya.[5]
Bersumber
dari semua itu, suatu hakikat kebenaran terdiri atas berikut ini.
a. Ontologi pada dataran transpenden
Ontology
pada dataran transpenden adalah suatu hakikat proses adanya kebenaran
berdasarkan nilai nilai teologis. Alam semesta adalah bentuk dari aksidental tuhan
yang merupakan ciptaannya sebagai bentuk realitas tuhan ada. Alam semesta dan
segala isinya seperti samudra, sungai pegunungan, dataran rendah, pepohonan,
tanam-tanaman sayur-sayuran, udara, air, hutan, buah-buahan dan sebagainya.
b. Ontologi pada dataran ideal
Ontology pada dataran
ideal adalah hakikat proses adanya kebenaran melalui proses adanya kebenaran
melalui proses berfikir, baik dalam bentuk gagasan, ide dan konsep. Idealism
adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami
dalam ketergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Istilah ini diambil
dari ide yaitu sesuatuyang hadir dalam jiwa.
c. Ontologi pada dataran empiris
Ontology pada dataran
empiris adalah hakikat proses adanya kebenaran melalui pancaindra. Ontology
pada dataran ini memunculkan aliran empirismem realisme, positivism,, dan
materialisme. Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan
mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani
“empeiria” yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme
adalah lawan rasionalisme.
Dalam pemahaman bahwa
ontology dipahami sebagai teori dan paradigma dalam memahami kebenaran maka
dalam studinya, ontology harus pula dipahami sebagai berikut.
1. Yang ada (being)
Istilah ada boleh dikatakan senantiasa menunjukkan suatu
cirri yang melekat pada apa saja. Sesuatu tersebut bias tuhan, ataupun manusia.
Sesuatu yang ada tersebut terdiri atas
berbagai unsure, yakni subjek yang menciptakan, objek yang diciptakan, objek
dengan ruang serta waktu dalam proses penciptaan.
2. Yang nyata (reality)
Yang nyata dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang
benar-benar ada (konkrit)
3. Esensi dan eksistensi (essence and
existence)
Essensi dapat dipahami sebagai kekuatan spiritual.
4. Hakikat pluralisik (emosional,
berfikir, keyakinan)
B.
Ontologi Ilmu Dalam Konteks Filsafat Ilmu
1. Realistic empiric
Realistic
empiric berupa :
a. Gejala alamiah yang menghasilakn
ilmu-ilmu eksak
b. Gejala social yang menghasilkan
ilmu-ilmu kemasyarakatan
c. Gejala budaya yang menghasilkan
ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya ideal (pemikiran) yang sifatnya empiric
(pancaindra)[6]
2. Objek kajian ilmu
Objek kajian
ilmu tersebut adalah objek kajian ilmu dan setiap ilmu yang telah dipaparkan
diatas.
3. Masalah yang akan diteliti
Masalah
memiliki pengertian kesenjangan antara das
sollen dan das sain.
C.
Klasifikasi ontologi
1. Ontologi pada dataran transenden,
yakni hakikat proses adanya kebenaran berdasarkan nilai-nilai teologis
2. Ontology pada dataran ideal yakni
hakikat proses adanya kebenaran melalui proses berfikir, baik dalam bentuk gagasan
ide, konsep. Ontology pada dataran ini nmemunculkan aliran idealism,
rasionalisme, eksistensialisme.
D.
Metode dalam Ontologi
Lorens
Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk
mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.[7]
Sedangkan
metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua,
yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori
disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan
pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
E.
Konsep ontologi
Konsep-konsep yang
berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu:
a. Umum dan tertentu
b. Kesengajaan (substance) dan
ketidaksengajaan (accident)
c. Abstrak dan kongkrit
d. Esensi dan eksistensi
e. Determinisme dan indeterminisme
1. Umum
(universal) dan Tertentu (particular)
Umum
(universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu, misalnya:
karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau disederhanakan melalui
cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing
berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas ”berwarna hijau” atau
”menjadi hijau”.
Tertentu
(particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu.
Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular), seseorang
tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa menambahkan sesuatu
yang baru pada tiruannya.
2. Substansi (substance) dan Ikutan (accident)
Substansi
adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek, atau properti yang
melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa properti tersebut, maka
obyek tidak ada lagi. Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang
mungkin atau tidak mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles,
”ikutan” adalah kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya:
warna, tekstur, ukuran, bentuk dsb.
3. Abstrak dan
Kongkrit
Abstrak
adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada
sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis (permainan adalah
abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit). Kongkrit adalah obyek yang ”ada”
pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya:
awan, badan manusia.
4. Esensi dan
eksistensi
Esensi
adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan
sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek, jika atribut hilang
maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi (existere: tampak, muncul.
Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan
oleh indera.
5. Determinisme
dan indeterminisme
Determinisme
adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk perilaku manusia, pengambilan
keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya.
Indeterminisme
merupakan perlawanan terhadap determinisme. Para penganut indeterinisme
mengatakan bahwa tidak semua kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa
lalu, tetapi ada faktor kesempatan (chance) dan kegigihan (necessity).
Kesempatan (chance) merupakan faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan,
sedangkan kegigihan (necessity) dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau
dipertahankan sesuai asalnya.
F.
Aliran-aliran Yang Membahas Ontologi
1. Menurut materialisme (sering juga
disebut naturalisme), hakikat benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani,
jiwa, spirit, dan sebangsanya muncul dari benda. Rohani dan kawan-kawannya itu
tidak akan ada seandainya tidak ada benda. Bagi naturalisme, roh, jiwa, itu
malahan tidak diakui adanya, tentu saja termasuk Tuhan. Materialisme tidak
menyangkal adanya spirit, roh, termsuk Tuhan. Akan tetapi spirit, Tuhan, itu
muncul dari benda. Jadi, roh, Tuhan, spirit, itu bukan hakikat.[8]
Menurut materialisme, hakikat manusia adalah materi. Maka menurut paham
ini manusia itu hakikatnya ialah seperti ia kelihatan. Rohani manusia memang
ada , tetapi bukan hakikat. kepuasan dan kebahagiaan terletak pada badan; jika
badan hancur, karen amencuri atau karena mempertahankan kebenaran, maka
selesailah manusia itu, rohnya hiulang tidak keruan bersama badan. Tentu tidak
ada soal neraka atau surga.
Aliran ini adalah aliran yang tertua. Ada beberapa alasan mengapa aliran
ini dapat berkembang. Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan,
yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. Pikiran yang masih
sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu diluar ruang yang abstark.
Penemuan-penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Maka
peristiwa jiwa selalu selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih
menonjol dalam peristiwa itu. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada
benda, seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya ini
memperkuat ugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda.
Mengenal asal manusia, menurut materialisme adalah materi; menurut
idealisme, hidup manusia berasal dari Yang Hidup. Demikian juga pikiran-pikiran
aliran ini mengenai tujuan manusia. Bagi materialisme, mati adalah hal yang
amat sederhana, tetapi tidak demikian pada idealisme. Bagi paham ini, mati
adalah lanjutan hidup di dunia ini.
2. Menurut orang-orang
idealis justru sebaliknya. Yang hakikat adalah rohnya. Paham ini kan berujung
pada Tuhan, surga, neraka.Idealisme berpendapat sebaliknya; hakikat benda
adalah rohani, spirit atau sebangsanya. Alasan skeptisism mereka ialah sebagai
berikut.
a. Nilai roh lebih tinggi daripada badan
b. Manusia lebih dapat memahami dirinya
daripada dunia luar dirinya.
c. Materi ialah kumpulan energi yang
menempati ruang, benda tidak ada, yang ada energi itu saja (Oswald).
3. Aliran dualisme mudah
ditebak. Yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua, material dan imaterial,
benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari roh, dan roh bukan
muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kesulitan yang dihadapi aliran ini ialah
menjawab pertanyaan: Bagaimana kesesuaian kedua-duanya seperti pada manusia?
Jawab dualisme: Itu sudah distel seperti tenaga dan jarum pada jam.
Persoalannya lebih rumit: Siapa yang menyetelnya? Bagaimana cara menyetelnya?
Karena itulah mungkin
para penganut skeptisisme berpendapat: Diragukan apakah manusia mampu
mengetahui hakikat. mungkin dapat, mungkin tidak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ontologi membahas tentang
yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas
tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Ontologis; cabang ini
menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari
objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Dengan demikian Ontologi
Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being) dalam
perspektif ilmu —
ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek
materil ke-Ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah
secara kritis dalam ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being,
sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan
kebenaran.
B.
Saran
Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan dan belum mencapai kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan
kritikan, saran, motivasinya dari teman-teman, pak dosen
agar makalah ini bisa dibuat dengan lebih baik dikedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. Tafsir Ahmad. 2010. Filsafat Umum (Akal Dan Hati Sejak Tales Sampai Capra). Bandung : Pt.
Remaja Rosdakarya.
Jujun S. Suriasuantrim. 1998. Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Langeveld, M.J. 2001. Menuju
Kepimikiran Filsafat. Jakarta: Putra Sarjana.
Anton Bakker. 1992. Ontologi
Metafisika Umum. Yogyakarta : Pustaka Kanisius.
Muhammad. Solihin. 2007. Perkenbangan Pemikiran Filsafat dari Klasik
Hingga Modern. Bandung : CV Pustaka Setia.
Lorens Bagus.1996. Kamus
Filsafat.
Loouis O. 2004. Kattsouff. Pengantar filsafat, Yogjakarta : Tiara Wacana. Cet. IX.
[1] Langeveld, M.J. Menuju Kepimikiran Filsafat. ( Jakarta: Putra Sarjana. 2001 ). h. 104
[2] Prof. Dr. Tafsir Ahmad, Filsafat Umum (Akal Dan Hati Sejak Tales Sampai Capra). Bandung : Pt.
Remaja Rosdakarya 2010. Hlm: 23
[3] Anton Bakker. Ontologi Metafisika Umum. ( Yogyakarta: Pustaka Kanisius 1992 ). hal 84
[4] Muhammad. Solihin. Perkenbangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. (
Bandung : CV Pustaka Setia 2007 ). Hal 170.
[5] Lorens Bagus . Kamus Filsafat,:1996, hal. 746
[6] Jujun S. Suriasuantrim . Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998. Hal 76
[7] Ibid. hal 747
[8] Louis O. Kattsouff. Pengantar filsafat, Yogjakarta : Tiara Wacana, 2004. Cet. IX, h.
132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar