Puji
syukur hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan hidayah dan inayah-Nya bagi
kami, melalui ilmu-Nya Yang Maha Luas dan tak terkira sehingga kami bisa
sedikit menuliskan setetes dari lautan ilmu-Nya ke dalam makalah sederhana ini.
Shalawat serta salam kami tujukan kepada suri tauladan kami, yang telah membawa
umat manusia dari zaman jahiliyah (kebodohan) menuju zaman yang berilmu
pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini. yakni Nabi Muhammad SAW,
beserta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga kita menjadi umatnya di
yaumul akhir nanti. Aamiin.
Sebuah buku adalah
kontribusi, dan kontribusi merupakan wujud dedikasi dari berbagai pihak. Kami
bersyukur pada akhirnya kontribusi dapat
di wujudkan dengan di iringi kesadaran bahwa segala keterbatasan masih mengiringi
buku yang masih perlu di teliti. Dan kami berharap bahwa nantinya untuk pembaca
agar mengingatkan jika ada kekeliruan dalam penulisan makalah ini, dan kami
juga harapkan kepada pembaca agar bisa mengambil inti sari yang berguna seraya
melakukannya di kehidupan sehari-hari.
Akhirnya, kami berharap
buku ini menjadi kontribusi positif yang tak ada hentinya. Tak henti untuk
terus di koreksi, tak henti untuk melahirkan berbagai inovasi, dan tak henti
untuk memberikan inspirasi kepada orang lain untuk juga memberikan kontribusi
yang jauh lebih baik dari kami. Semoga.
PEKANBARU, 07 OKTOBER 2013
PENULIS
DAFTAR ISI
Cover .......................................................................................1
Kata Pengantar
........................................................................2
Daftar Isi
..................................................................................3
BAB 1
Pendahuluan
Latar belakang
.........................................................................4
BAB 2
Pembahasan
Dasar-dasar
filsafat ..................................................................5
√
pengertian
Filsafat ...........................................................5
√
mengapa
Manusia berfilsafat ..........................................7
√
object
Kajian Filsafat ......................................................9
√
metode
kajian Filsafat ...................................................10
√
karakteristik
atau Sifat Dasar Filsafat ...........................13
BAB 3
Penutup
Kesimpulan ........................................................................................15
Daftar Pustaka
...................................................................................16
BAB 1
pendahuluan
Latar belakang
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul
di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang
mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa
filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu
seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani,
tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa
diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki.
Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid
Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah
“komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang
sangat besar pada sejarah filsafat.
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Itulah tadi Posting tentang "Latar Belakang Munculnya Filsafat". Jika ada salah kata atau penulisan kiranya pembaca sudi untuk memberikan koreksi saran kritik dan
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Itulah tadi Posting tentang "Latar Belakang Munculnya Filsafat". Jika ada salah kata atau penulisan kiranya pembaca sudi untuk memberikan koreksi saran kritik dan
komentarnya.
Terimakasih dan semoga bermanfaat
BAB 2
Pembahasan
DASAR-DASAR FILSAFAT
1. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam
konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang
sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu
membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri
eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa
penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju
sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin
ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Klasifikasi merupakan kata serapan dari bahasa Belanda, classificatie, yang sendirinya berasal dari
bahasa Prancis classification. Istilah ini menunjuk kepada sebuah metode
untuk menyusun data secara sistematis atau menurut beberapa aturan atau kaidah yang telah ditetapkan.
Filsafat adalah studi tentang
seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan
dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika
berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam
matematika
dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi
tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi,
keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti
perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan
segala hal.
Etimologi
Kata falsafah atau filsafat
dalam bahasa
Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata
ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia =
persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan").
Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.
Kata filosofi yang dipungut
dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih
mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang
falsafah disebut "filsuf".
Secara harfiyah, filsafat berarti cinta
kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani,
yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata
Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari
kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo
dan sophia. Philo berarti cinta atau
keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan
sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah
keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.
Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa
dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat
isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf.
Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah
(Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan
merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah
(jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.
Dalam
bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi pengertian filsafat memang
sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Menurut
Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari
sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan,
alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan
yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang
meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika,
ekonomi, politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat
adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup
di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya
adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika,
(c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu
manusia, jawabannya adalah antropologi.
Barangkali
karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif
sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan
definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak diberikan defenisi
terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius, nanti dia
akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan dari
Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat
sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi pemula –
sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat diperlukan.
2. Mengapa Manusia Berfilsafat
Apabila
seseorang bertanya tentang sesuatu, maka sebenarnya dia sudah berfilsafat,
karena bertanya berarti ingin tahu dan keingintahuan itu merupakan esensi dari
filsafat. Akan tetapi pertanyaan kefilsafatan yang sesungguhnya adalah
pertanyaan yang sangat mendalam dan serius. Pertanyaan kefilsatan memerlukan
jawaban yang hakiki, dan setelah mendapatkan jawaban, apabila meragukan maka
jawaban itu akan dipertanyakan kembali untuk mendapatkan jawaban yang lebih
mendalam (hakiki). Jadi filsafat adalah upaya pemikiran dan penyelidikan secara
mendalam atau radikal (sampai ke akar persoalan). Dengan demikian pertanyaan
filsuf tidaklah sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan seperti apa rasa gula tidak akan melahirkan
filsafat, sebab hal itu bisa dijawab dengan mudah oleh lidah atau berapa
tahun durian dapat berbuah juga tidak
melahirkan filsafat, karena dapat dijawab oleh sains dengan melalui riset
(penelitian).
Contoh
pertanyaan kefilsafatan adalah seperti diutarakan oleh Thales, “apakah bahan
alam semesta ini?”. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan sembarangan,
karena yang dipertanyakan adalah masalah esensi atau hakikat alam semesta. Jadi
perlu pemikiran dan penyelidikan yang mendalam (radikal).
Pancaindera jelas tidak
mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya sekedar menyaksikan
benda alam yang ada secara lahiriyah.
Sains juga tidak sanggup
menjawab, karena hanya menyelidiki secara empiris benda yang ada.
Tetapi filsafat mampu
mengungkapkan jawaban yang lumayan dapat memuaskan.
Seperti
jawaban dari Thales sendiri bahwa bahan alam semesta adalah air, dengan alasan
bahwa air itu dapat berubah menjadi berbagai wujud. Jika air dimasukkan ke
dalam ember maka dia akan membentuk seperti ember, dst. Selain itu air amat
dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan bumi ini menurutnya terapung di atas air.
Pertanyaan tersebut pertamakali muncul pada zaman
permulaan (Yunani Kuno), yang dilatarbelakangi oleh keta’juban
(keheranan) terhadap alam semesta. Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar
menunjuk kepada dua hal penting, yaitu subyek dan obyek. Jika ada
ketakjuban pasti ada yang takjub (subyek) dan yang menakjubkan (obyek). Subyek ketakjuban adalah manusia, sebab manusia
satu-satunya makhluk yang memiliki perasaan dan akal budi. Hal ini karena
ketakjuban hanya dapat dirasakan dan dialami oleh makhluk yang berperasaan dan
berakal budi. Adapun obyek ketakjuban adalah segala sesuatu yang ada, baik di
alam nyata maupun di alam metafisik (abstrak)
Selain
ketakjuban, yang mendorong manusia berfilsafat adalah karena adanya aporia (kesangsian,
keraguan, ketidakpastian atau kebingungan). Pertanyaan yang timbul akibat
aporia ini menurut Ahmad Tafsir muncul di zaman modern. Aporia ini berada di
antara percaya dan tidak percaya. Ketika manusia bersikap percaya atau
mengambil tidak percaya, maka pikiran tidak lagi bekerja atas hal itu, akan
tetapi jika dia berada antara percaya dan tidak percaya maka pikiran mulai
bergerak dan berjalan untuk mencari kepastian. Sangsi atau keraguan akan
menimbulkan pertanyaan, pertanyaan membuat pikiran bekerja, dan pikiran bekerja
akan melahirkan filsafat. Jadi sikap keingintahuan atau ingin kepastian
terhadap sesuatu dapat melahirkan filsafat.
Ada juga
yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan.
Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos memainkan peranan penting dalam
kehidupan manusia. Mitos tersebut beupaya memberikan penjelasan terhadap
manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta,
akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin lama semakin tidak
memuaskan manusia. Mitos tersebut antara lain membawa ajaran bahwa alam semesta
beserta fenomina yang ada tidak mungkin dapat dipikirkan secara ratio, akan
tetapi harus diterima secara intuisi (perasaan dan keimanan). Mereka ketika itu
sangat meyakini ajaran agama (Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales
(mendapat gelar bapak filsafat, karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat)
bahwa bahan baku alam semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis atau
mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson (penganut intuitisme) mengatakan
bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya memapu menjangkau atau memahami suatu
obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek tersebut. Ketika itu maka
manusia harus tunduk kepada intuisi.
3. Obyek Kajian Filsafat
Pada
dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek
formal. Obyek material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia,
pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide,
paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek
material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang
tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan empiris dan
eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Filsafat,
sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek
material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik
yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak, metafisika).
Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut tiga hal, yaitu
yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam kemungkinan.
Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains,
bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek
material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua,
ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,
seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi
obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains.
Adapun
obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni
keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan
penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa
obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan
obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang
sesungguhnya.
4. Metode
Kajian Filsafat
Metode
berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos,
artinya mengikuti jejak, mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya
adalah meta (dengan) dan hodos (jalan). Dalam hubungan dengan
kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja teratur dan sistematis
yang digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan
sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan
menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah, melainkan juga
merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan
sejak dari awal penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah
yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam makalah sederhana
ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut :
Metode Dialektika
(Kritis)
Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai =
bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama
kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu
istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk
membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan
metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika
induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh
kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.
Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air,
kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri
dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan
akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di
kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme
terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme.
Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu
bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki).
Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu
menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada
keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa
tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral,
metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah
kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah
bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya
pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar
pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh
kepada kaum sofis, yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang
sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang
yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari
keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia
disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan
ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan
dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil
pemikiran tentang relativisme ini.
Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga
orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM.
Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan.
Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya
kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia
kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang
obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates
menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui
percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete
(keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain
sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri
keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati
itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati
adalah kebenaran suyektif.
Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk
menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama
kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran,
kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi
malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari
besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada
tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu
seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan
ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat
duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan
ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang
memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki,
bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang
merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan
sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi
kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya
kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan
tempat duduknya tidak perlu disebutkan.
Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif
(subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini
diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus muridnya
bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu
bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh
Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.
Metode
Intuisi
Metode intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda
dengan akal) ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini
plotinus melahirkan teori emanasi, yang juga bepengaruh pada filsafat
Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang cukup berani, karena para filsuf
sebelumnya tidak mampu dan takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi
Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam hal spekulasi dan imajinasinya,
semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya. Tujuan filsafat
Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara
: pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat
mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa illahi.
Jawaban
Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban lain yang katanya
berasal dari udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan manusia, karena
pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya. Pada kira-kira 800 tahun
kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang lumayan, yaitu yang dikenal
dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam semesta ini tercipta dari pancaran
dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak
mengandung arti banyak. Yang banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses
emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu (The One).
Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan
absolut.
The
One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas yang tidak
mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia berada di luar
eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga apabila seseorang mencoba untuk
mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One atau Yang Esa merupakan puncak
segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya,
sekalipun oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi.
Seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada
di belakang akal dan jiwa. Dia tidak dapat dideteksi melalui penginderaan dan
tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya dapat dihayati melalui
intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi itu, Plotinus juga
melontarkan ajaran tentang reinkarnasi yaitu keyakinan akan penyatuan
kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One). Reinkarnasi ini ditentukan oleh
perilaku dan tindakan manusia selama hidup di dunia. Jiwa yang bersih tidak ada
lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali menyatu dengan Tuhan. Sedangkan
jiwa yang kotor harus hidup kembali ke dalam kehidupan yang lebih rendah
seperti kepada orang jahat, hewan atau tumbuhan, sesuai dengan tindakan
kejahatan jiwa itu sendiri.
5. Karasteristik atau Sifat
Dasar Filsafat
A. Berfikir
Radikal
Berfilsafat berarti berfikir
secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir radikal, sehingga mereka tidak
akan pernah terpaku hanya kepada fenomena suatu identitas atau realitas
tertentu saja. Keradikalan berfikir mereka akan senantiasa mengobarkan
hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Radik atau akar sebuah
realitas memang selalu dianggap penting oleh mereka karena menemukan akar atau
radik tersebut membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir
radikal akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas
itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat atau akar seluruh
sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6)
mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan
bukan pula berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan
dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis dan universal.
B. Mencari
asas
Dalam memandang seluruh
realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki
dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan
filsuf alam menagamati keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu
bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas
atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua.
Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa
asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk
realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.
C. Memburu
Kebenaran
Berfilsafat berarti memburu
kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran
yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh
kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan,
maka setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran
tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti
ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB 3
Penutup
Kesimpulan
Tertulis sudah kata-kata yang tersusun
melalui pemikiran yang intelektual seta penambahan bahan dari buku-buku, yang
mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca, dan insyaallah dapat di pahami dengan
pemikiran yang radikal secara efektif dan seefesien mungkin. Dan diakhir
makalah ini penulis menambahkan sedikit sejarah filsafat yang mungkin akan
menambah wawasan pembaca.
Filsafat
barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul
ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia,
dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama]
lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak
yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang
beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir.
Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada
kasta
pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang
Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang
di pesisir barat Turki. Tetapi
filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles
adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak
lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan
pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Akhdhary, Imam,
1993, Ilmu Balghah, Bandung:Al-Ma’rifat.
Al-Jarim, Ali dan Musthafa Amin, 2010, Al-Balaaghatu
Waadhihah (Terjemahan), Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Idris
Mardjoko, MA, 2007, Ilmu Balaghah Antara al-Bayan dan al-badi’
Yogyakarta: Teras.
http://yathiemuko.blogspot.com/2012/09/al-muqabalah.html
Sumarna, Dr. Cecep, 2008. Filsafat
Ilmu, CV. Mulia Press, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar