Mencari kehalalan dalam Berbuat

Selasa, 25 Maret 2014

makalah klasifikasi filsafat




            Puji syukur hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan hidayah dan inayah-Nya bagi kami, melalui ilmu-Nya Yang Maha Luas dan tak terkira sehingga kami bisa sedikit menuliskan setetes dari lautan ilmu-Nya ke dalam makalah sederhana ini. Shalawat serta salam kami tujukan kepada suri tauladan kami, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah (kebodohan) menuju zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat ini. yakni Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga kita menjadi umatnya di yaumul akhir nanti. Aamiin.
           
Sebuah buku adalah kontribusi, dan kontribusi merupakan wujud dedikasi dari berbagai pihak. Kami bersyukur pada  akhirnya kontribusi dapat di wujudkan dengan di iringi kesadaran bahwa segala keterbatasan masih mengiringi buku yang masih perlu di teliti. Dan kami berharap bahwa nantinya untuk pembaca agar mengingatkan jika ada kekeliruan dalam penulisan makalah ini, dan kami juga harapkan kepada pembaca agar bisa mengambil inti sari yang berguna seraya melakukannya di kehidupan sehari-hari.
           
Akhirnya, kami berharap buku ini menjadi kontribusi positif yang tak ada hentinya. Tak henti untuk terus di koreksi, tak henti untuk melahirkan berbagai inovasi, dan tak henti untuk memberikan inspirasi kepada orang lain untuk juga memberikan kontribusi yang jauh lebih  baik dari kami. Semoga.




PEKANBARU,  07 OKTOBER 2013


PENULIS


DAFTAR ISI

Cover .......................................................................................1
Kata Pengantar ........................................................................2
Daftar Isi ..................................................................................3
BAB 1
Pendahuluan
Latar belakang .........................................................................4
BAB 2
Pembahasan
Dasar-dasar filsafat ..................................................................5
     pengertian Filsafat ...........................................................5
     mengapa Manusia berfilsafat ..........................................7
     object Kajian Filsafat ......................................................9
     metode kajian Filsafat ...................................................10
     karakteristik atau Sifat Dasar Filsafat ...........................13
BAB 3
Penutup
Kesimpulan ........................................................................................15
Daftar Pustaka ...................................................................................16


               BAB  1
pendahuluan
Latar belakang
            Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
            Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
            Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
            Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
            Itulah tadi Posting tentang "Latar Belakang Munculnya Filsafat". Jika ada salah kata atau penulisan kiranya pembaca sudi untuk memberikan koreksi saran kritik dan
komentarnya. Terimakasih dan semoga bermanfaat

               BAB  2
Pembahasan
DASAR-DASAR FILSAFAT
1.    Pengertian Filsafat
            Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
             Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
            Klasifikasi merupakan kata serapan dari bahasa Belanda, classificatie, yang sendirinya berasal dari bahasa Prancis classification. Istilah ini menunjuk kepada sebuah metode untuk menyusun data secara sistematis atau menurut beberapa aturan atau kaidah yang telah ditetapkan.
            Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
            Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Etimologi
            Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.
            Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
            Secara harfiyah, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan katan majemuk dari Philia dan Sophia. Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia. Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan (hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan. Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat,  padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
             Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia. Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika. Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan, yaitu : (a) apa yang dapat diketahui, jawabannya adalah metafisika, (b) apa yang seharusnya diketahui, jawabannya adalah etika, (c) sampai di mana harapan kita, jawabannya adalah agama dan (d) apa itu manusia, jawabannya adalah antropologi.
      Barangkali karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata hasilnya juga relatif sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu gegabah memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara serius, nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat dukungan dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat diperlukan.

2.    Mengapa Manusia Berfilsafat

      Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, maka sebenarnya dia sudah berfilsafat, karena bertanya berarti ingin tahu dan keingintahuan itu merupakan esensi dari filsafat. Akan tetapi pertanyaan kefilsafatan yang sesungguhnya adalah pertanyaan yang sangat mendalam dan serius. Pertanyaan kefilsatan memerlukan jawaban yang hakiki, dan setelah mendapatkan jawaban, apabila meragukan maka jawaban itu akan dipertanyakan kembali untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam (hakiki). Jadi filsafat adalah upaya pemikiran dan penyelidikan secara mendalam atau radikal (sampai ke akar persoalan). Dengan demikian pertanyaan filsuf tidaklah sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan seperti apa rasa gula tidak akan melahirkan filsafat, sebab hal itu bisa dijawab dengan mudah oleh lidah atau berapa tahun durian dapat berbuah juga tidak melahirkan filsafat, karena dapat dijawab oleh sains dengan melalui riset (penelitian).

      Contoh pertanyaan kefilsafatan adalah seperti diutarakan oleh Thales, “apakah bahan alam semesta ini?”. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan sembarangan, karena yang dipertanyakan adalah masalah esensi atau hakikat alam semesta. Jadi perlu pemikiran dan penyelidikan yang mendalam (radikal).
  
              Pancaindera jelas tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya sekedar menyaksikan benda alam yang ada secara lahiriyah.
              Sains juga tidak sanggup menjawab, karena hanya menyelidiki secara empiris benda yang ada.
              Tetapi filsafat mampu mengungkapkan jawaban yang lumayan dapat memuaskan.
     
      Seperti jawaban dari Thales sendiri bahwa bahan alam semesta adalah air, dengan alasan bahwa air itu dapat berubah menjadi berbagai wujud. Jika air dimasukkan ke dalam ember maka dia akan membentuk seperti ember, dst. Selain itu air amat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan bumi ini menurutnya terapung di atas air.
            Pertanyaan tersebut pertamakali muncul pada zaman permulaan (Yunani Kuno), yang dilatarbelakangi oleh keta’juban (keheranan) terhadap alam semesta. Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar menunjuk kepada dua hal penting, yaitu subyek dan obyek. Jika ada ketakjuban pasti ada yang takjub (subyek) dan yang menakjubkan (obyek). Subyek            ketakjuban adalah manusia, sebab manusia satu-satunya makhluk yang memiliki perasaan dan akal budi. Hal ini karena ketakjuban hanya dapat dirasakan dan dialami oleh makhluk yang berperasaan dan berakal budi. Adapun obyek ketakjuban adalah segala sesuatu yang ada, baik di alam nyata maupun di alam metafisik (abstrak)
      Selain ketakjuban, yang mendorong manusia berfilsafat adalah karena adanya aporia (kesangsian, keraguan, ketidakpastian atau kebingungan). Pertanyaan yang timbul akibat aporia ini menurut Ahmad Tafsir muncul di zaman modern. Aporia ini berada di antara percaya dan tidak percaya. Ketika manusia bersikap percaya atau mengambil tidak percaya, maka pikiran tidak lagi bekerja atas hal itu, akan tetapi jika dia berada antara percaya dan tidak percaya maka pikiran mulai bergerak dan berjalan untuk mencari kepastian. Sangsi atau keraguan akan menimbulkan pertanyaan, pertanyaan membuat pikiran bekerja, dan pikiran bekerja akan melahirkan filsafat. Jadi sikap keingintahuan atau ingin kepastian terhadap sesuatu dapat melahirkan filsafat.

      Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan. Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Mitos tersebut beupaya memberikan penjelasan terhadap manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta, akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin lama semakin tidak memuaskan manusia. Mitos tersebut antara lain membawa ajaran bahwa alam semesta beserta fenomina yang ada tidak mungkin dapat dipikirkan secara ratio, akan tetapi harus diterima secara intuisi (perasaan dan keimanan). Mereka ketika itu sangat meyakini ajaran agama (Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales (mendapat gelar bapak filsafat, karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat) bahwa bahan baku alam semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis atau mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson (penganut intuitisme) mengatakan bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya memapu menjangkau atau memahami suatu obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek tersebut. Ketika itu maka manusia harus tunduk kepada intuisi.

3.    Obyek Kajian Filsafat

      Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret seperti kerbau, sapi, manusia, pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti nilai-nilai, ide-ide, paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh manusia menjadi obyek material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.
      Filsafat, sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak, metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut tiga hal, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam kemungkinan. Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains, bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua, ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains.
      Adapun obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang sesungguhnya.

4.    Metode Kajian Filsafat

      Metode berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang diambil dari kata methodos, artinya mengikuti jejak, mengusut, menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta (dengan) dan hodos (jalan). Dalam hubungan dengan kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu obyek yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang terpisah-pisah, melainkan juga merupakan alat paling utama dalam proses dan perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal penelitian hingga mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.

            Dalam makalah sederhana ini hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut :

Metode Dialektika (Kritis)
            Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.
            Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh kepada kaum sofis, yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme ini.

            Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.
            Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.

            Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.

Metode Intuisi
            Metode intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga rohani yang berbeda dengan akal) ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus. Dengan metode ini plotinus melahirkan teori emanasi, yang juga bepengaruh pada filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang cukup berani, karena para filsuf sebelumnya tidak mampu dan takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam hal spekulasi dan imajinasinya, semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya. Tujuan filsafat Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara : pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa illahi.

            Jawaban Thales bahwa bahan alam semesta adalah air – termasuk jawaban lain yang katanya berasal dari udara, tanah dan api – dianggap belum memuaskan manusia, karena pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya. Pada kira-kira 800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang lumayan, yaitu yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam semesta ini tercipta dari pancaran dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang banyak (makhluk) ini mengalir lewat proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu (The One). Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada Satu yang wajib ada, sederhana dan absolut.

            The One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah seuatu realitas yang tidak mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan logika, karena ia berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga apabila seseorang mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One atau Yang Esa merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya, sekalipun oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Ia adalah pokok atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Dia tidak dapat dideteksi melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami lewat pemikiran logis, tapi hanya dapat dihayati melalui intuisi (hati nurani atau keimanan). Dari teori emansi itu, Plotinus juga melontarkan ajaran tentang reinkarnasi yaitu keyakinan akan penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One). Reinkarnasi ini ditentukan oleh perilaku dan tindakan manusia selama hidup di dunia. Jiwa yang bersih tidak ada lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali menyatu dengan Tuhan. Sedangkan jiwa yang kotor harus hidup kembali ke dalam kehidupan yang lebih rendah seperti kepada orang jahat, hewan atau tumbuhan, sesuai dengan tindakan kejahatan jiwa itu sendiri.


5.    Karasteristik atau Sifat Dasar Filsafat
A.    Berfikir Radikal
               Berfilsafat berarti berfikir secara radikal. Para filosuf adalah para pemikir radikal, sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya kepada fenomena suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan berfikir mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Radik atau akar sebuah realitas memang selalu dianggap penting oleh mereka karena menemukan akar atau radik tersebut membuat mereka paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat atau akar seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam (radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula berfikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis dan universal.









B.     Mencari asas
               Dalam memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di balik realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas atau dasar ?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua. Thales menemukan asas alam semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa asasnya adalah udara, dan Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk realitas alam ini, yaitu api, udara, tanah dan air.



C.     Memburu Kebenaran
               Berfilsafat berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat dipertanggungjawabkan.



















               BAB  3
Penutup
Kesimpulan

            Tertulis sudah kata-kata yang tersusun melalui pemikiran yang intelektual seta penambahan bahan dari buku-buku, yang mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca, dan insyaallah dapat di pahami dengan pemikiran yang radikal secara efektif dan seefesien mungkin. Dan diakhir makalah ini penulis menambahkan sedikit sejarah filsafat yang mungkin akan menambah wawasan pembaca.
          Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
          Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
          Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Akhdhary, Imam,  1993, Ilmu Balghah, Bandung:Al-Ma’rifat.
Al-Jarim, Ali dan Musthafa Amin, 2010, Al-Balaaghatu Waadhihah   (Terjemahan), Bandung: Sinar Baru Algensindo.
         Idris Mardjoko, MA, 2007, Ilmu Balaghah Antara al-Bayan dan al-badi’ Yogyakarta: Teras.
http://yathiemuko.blogspot.com/2012/09/al-muqabalah.html
Sumarna, Dr. Cecep, 2008. Filsafat Ilmu,  CV. Mulia Press, Bandung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar