SEBUAH KISAH MENYENTUH, SENYUM SANG BIDADARI ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... "Bunda, puasa itu
wajib ya? Kata bu guru Ila, puasa itu wajib buat semua muslim," tanya
Nabila sepulang sekolah. "Ila juga mau ikutan puasa ah, supaya dapat
pahala dan masuk syurga," lanjutnya. "Ila mau masuk syurga, Nda. Ila
mau jumpa Allah," ia masih melanjutkan kalimat penuh antusias dari bibir
mungilnya. "Kalau Ila masuk syurga, Ila bisa jumpa ayah ya, Nda? Tapi
nanti siapa yang jagain Bunda?"
Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya, seperti biasa ia
akan terus berceloteh riang tanpa henti. "Iya sayang, jadi Ila juga mesti
belajar puasa dari sekarang ya, supaya Allah makin sayang sama Ila,"
sahutku bahagia mendengar semangat putri kecilku itu.
Ketika mengantarnya tidur, ia kembali mengingatkan untuk
membangunkannya saat sahur nanti. Ia berbisik di telingaku saat aku mengecup
keningnya di tempat tidur, "Nda, kalau besok Ila puasa penuh, do'ain Ila
cepat jumpa ama Allah ya," pintanya polos.
Deg! Ada perasaan lain menyergapku. Ah, segera kutepis rasa
aneh itu. Seharusnya aku bersyukur ia tidak seperti teman-teman sebayanya yang
sulit diajak belajar berpuasa. Aku mengiyakan dan hanya mengangguk dalam diam,
ribuan syukur kupanjatkan padaNya karena telah menganugerahkanku seorang putri
kecil yang luar biasa.
Di sepertiga terakhir malamku, kembali kutumpahkan airmata
kesyukuran atas karuniaNya memberiku Nabila di sebuah episode kehidupanku.
Kuhiba segunung pinta agar Dia selalu menjaganya di tiap desah nafas yang Ia
berikan. Tiada lain yang kuinginkan selain menjadikan putriku seorang wanita
shalihah bidadariMU di dunia.
Nabila terlihat begitu bersemangat menyantap sahurnya. Ia
mengambil sayur yang biasa enggan disentuhnya tanpa kuminta. Benar-benar sahur
pertama yang begitu berkesan bagiku, sama seperti sahur pertama beberapa tahun
lalu saat aku merasakan berpuasa pertama dengan status baruku sebagai seorang
istri dari lelaki pilihan yang dipilihkanNya.
Pagi ini, sebelum mengantar Nabila ke sekolah, kusempatkan
mampir ke toko peralatan kue untuk membeli beberapa bahan yang kubutuhkan.
Kuajak Nabila turun dan kugandeng ia masuk ke dalam toko.
Aku sibuk memilih beberapa bahan hingga tak sadar bahwa
Nabila tak lagi di sampingku. Tiba-tiba kudengar beberapa wanita menjerit dan
orang-orang berlarian di luar toko. Aku tersadar Nabila tak ada di dekatku. Aku
panik dan ikut berlari ke luar karena aku tak bisa menemukannya di dalam toko.
Aku berlari ke arah kerumunan orang ramai dan sesaat
kurasakan bumi seolah berhenti berputar. Bumi tempatku berpijak seakan-akan
menarik segenap kemampuanku tuk bergerak. Di depanku, Nabila tergeletak dengan
baju seragam putihnya yang berlumuran darah.
Segera kudekap ia erat dan menggendongnya sigap. Aku dibantu
beberapa orang di sekitar lokasi segera melarikan buah hatiku ke rumah sakit.
Di dalam mobil kudengar orang-orang mengatakan bahwa putriku adalah korban
tabrak lari.
Sungguh aku tak peduli bagaimana kejadian sebenarnya atau
siapa pun pelakunya, bagiku saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa
putri mungilku. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku beristighfar dan
mengajak bicara putriku dan memintanya bertahan.
Nabila mengeluarkan desah-desah kecil yang berusaha
kutangkap, "Nda, sakit. Kepala Ila, Nda." Jelas terlihat ia menahan
sakit yang tak tertahankan.
Sekuat tenaga aku berusaha menyimpan tangisan yang sudah
menyesak di dada. Aku tak boleh terlihat menangis karena itu akan membuatnya
lebih sakit dan panik. Aku harus terlihat tenang agar semangatnya muncul untuk
berjuang melawan sakitnya.
"Ila sabar ya sayang, kita hampir sampai ke rumah
sakit. Bunda tahu anak bunda kuat, Ila harus bertahan ya sayang, Allah pasti
bantu Ila supaya sembuh," ah, derai itu sulit sekali terbendung saat
melihat raut wajah bidadari kecilku yang pucat menahan sakit. Darah terus
mengalir dari pelipisnya.
"Nda, Allah sayang Ila kan. Allah mau kan jumpa
Ila?" parau suaranya masih bisa terdengar di telingaku. Sebuah senyuman
tersungging di bibir mungilnya. Senyuman terindah yang pernah ia punya.
Ah, semakin erat dekapanku seolah ia tak ingin kulepaskan
lagi. Aku seolah terseret ke peristiwa 2 tahun silam saat aku berada di posisi
yang sama, mendekap seseorang yang sudah menjadikanku permaisuri di taman
hatinya meregang nyawa setelah sebuah mobil menabraknya tepat di depan pintu
gerbang setelah mengantarkanku ke sekolah tempatku mengajar. Masih terpahat di
ingatan, senyuman terakhir yang diberikannya sore itu. Ya Rabb, kuatkan hamba.
Sampai di rumah sakit, Ila segera dilarikan ke ruang gawat
darurat. Dokter memintaku untuk menunggu di depan ruang operasi karena ternyata
Ila harus segera dioperasi disebabkan pendarahan hebat di kepala dan
punggungnya.
Aku merasa detik demi detik merambat begitu perlahan di
ruang tunggu itu. Setelah hampir 2 jam menghabiskan waktu dengan kecemasan yang
sulit digambarkan di depan ruang operasi itu, akhirnya aku menyeret langkahku
ke arah mushala di ujung koridor tuk mengadukan segala gundah yang kurasakan di
atas sajadah cintaNya.
Setulus kalbu kupinta dan kurayu pada sang pemberi hela
nafas agar Ia menyembuhkan putri kecilku. Namun di sebalik semua itu, aku hanya
meminta yang terbaik dariNya untuk cahaya mataku itu, karena aku yakin apa pun
yang diputuskanNya, maka itu adalah yang terbaik untuknya, untukku, dan untuk semuanya.
Aku hanya meminta Dia memberiku kekuatan melalui semua ini.
Ketenangan semakin kurasakan saat lirih ayat-ayat cintaNya itu kulafadzkan
lirih. Ada rasa damai yang tiba-tiba hadir menyelusup di sanubari.
Kembali ke ruang tunggu kujumpai seorang wanita separuh baya
yang kurasakan juga sedang menghadapi gundah yang sama. Ah, ruang ini, bangunan
ini, seakan airmata, kegelisahan, dan kecemasan tersketsa di tiap sudut rumah
sakit.
Setelah hampir 4 jam menunggu dengan kecemasan yang tak
tergambarkan, dokter itu ke luar dan menatapku dengan tatapan sendu. Aku hafal
sekali tatapan itu, tatapan yang sama saat lelaki yang telah menjadikanku
seorang ibu itu dibawa masuk ke ruang operasi, tatapan serupa saat wanita yang
menjadi perantara hadirku ke dunia harus melawan maut di meja operasi itu.
Ya Allah, kupinta kekuatan dariMU. "Nda, kalau besok
Ila puasa penuh, do'ain Ila cepat jumpa ama Allah ya," terdengar lagi
pintanya semalam.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ...
Kulihat wajah Nabila pucat seperti kapas, namun di wajahnya
senyum manis itu tak jua sirna, tak lagi kulihat sebuah derita di sana, yang
tersisa hanya sebuah senyuman yang mengiringinya menghadap sang pemilik
kehidupan.
Senyum yang juga diberikan ayahnya saat ia pergi
meninggalkan dunia fana ini. Airmata tak lagi bisa kubendung saat kutatap lekat
wajah bidadari kecilku itu, seolah ingin kupahat tiap detil wajahnya di dinding
hati agar sketsa itu takkan pernah pudar tuk selamanya.
Selamat jalan, sayang. Kau pergi disaat mulia, disaat kau
mulai meraba arti kehidupan di usiamu yang belia, disaat kau mulai tertatih
belajar mencintaiNya, di Ramadhanmu yang pertama. Kau dapatkan kebahagiaan
orang yang berpuasa, kebahagiaan akan perjumpaan denganNya.
Bunda mencintaimu, nak. Sangat, namun ternyata cintaNya
padamu telah menguntum saat cinta bunda masih berputik. Bunda sadar cintaNya
akan lebih bisa membuatmu bahagia. Dia jauh lebih mencintaimu, sayang.
Hingga Dia tak rela kau dibius cinta dunia, karena itu Ia
ingin kau ada di sisiNya. Bunda janji, bunda akan berusaha sekuat tenaga untuk
bisa memelukmu lagi. Do'akan bunda, ya nak. Bunda sayang Ila, nak.
Wallahu’alam bishshawab, ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar